Sodorkan Enam Argumen untuk Sebut DPK-DPKTb Bermasalah
jpnn.com - JAKARTA - Sejumlah indikasi kecurangan yang mencuat dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dipicu penggunaan Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan, setidaknya ada enam argumen yang bisa diajukan untuk menyatakan DPK dan DPKTb bermasalah.
Pertama, daftar pemilih yang diakui, dibenarkan dan sah menurut UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pilpres hanya ada satu yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Tidak ada satu norma pun dalam UU Pilpres, baik secara implisit apalagi eksplisit, yang memerintahkan kepada KPU untuk menyusun DPK dan DPKTb," ujar Said dalam keterangan persnya, Selasa (19/8).
Kedua, kewenangan yang diberikan UU Pilpres kepada KPU untuk menyusun daftar pemilih bersifat restriktif. Dengan kata lain, KPU hanya diberi wewenang untuk mengatur yang terkait dengan pemutakhiran, pengumuman, perbaikan Daftar Pemilih Sementara (DPS), dan penetapan DPT seperti diatur dalam Pasal 29 ayat 6 UU Pilpres.
Argumen ketiga, DPK dan DPKTb bukanlah daftar pemilih yang dimaksud oleh Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009. Pasalnya, syarat dan cara yang diatur oleh KPU tentang DPK dan DPKTb justru bertentangan dengan syarat dan cara yang diatur dalam putusan tersebut.
"Dalam putusan itu tegas disebutkan bahwa hanya KTP dan paspor yang diperbolehkan sebagai syarat bagi pemilih untuk memberikan suaranya di TPS. Tetapi KPU justru memperbolehkan Surat Keterangan domisili dari kepala desa/ lurah sebagai pengganti KTP," papar Said.
Masih lanjut Said, argumen keempat yakni syarat dan cara yang diatur untuk pemakaian KTP menurut Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 adalah dengan menyertakan Kartu Keluarga (KK). Namun, aturan itu justru diabaikan oleh KPU.