Soegeng Soejono, 48 Tahun Jadi 'Orang Terbuang' di Republik Ceko
Sempat Jadi Dosen, Kontrak Habis, lalu Kerja Serabutanjpnn.com, PRAHA - Soegeng Soejono, satu di antara segelintir orang Indonesia yang masih tersisa di tanah pengasingan, Republik Ceko. Meski begitu, di usia senjanya, dia ingin mengabdikan tenaga dan pikiran untuk "tanah air"-nya. Berikut laporan wartawan Jawa Pos ARIEF SANTOSA yang menemui Soejono di Praha belum lama ini.
=====================
SIANG itu, 15 Oktober, rombongan Jawa Pos Group yang baru saja mengikuti Kongres Koran Sedunia di Wina, Austria, sudah ditunggu sejumlah staf KBRI di Praha. Tempatnya bukan di kantor KBRI, melainkan di sebuah taman di sentra ibu kota Republik Ceko itu.
Taman tersebut begitu ramai. Ribuan wisatawan dari berbagai negara hilir-mudik menikmati suasana pusat perbelanjaan suvenir ala Malioboro, Jogja, tersebut.
Meski begitu, pertemuan informal antara staf KBRI Praha dan rombongan Jawa Pos Group di taman kota itu berlangsung gayeng dan akrab. "Hati-hati, dompet, tas, dan kamera. Di sini banyak copet. Tidak hanya di Indonesia yang ada copetnya," ujar Guntur, salah seorang staf KBRI Praha, mengingatkan.
Guntur lalu mengenalkan tiga laki-laki tua yang akan menjadi pemandu rombongan. Mereka adalah Soegeng Soejono, Siswantono, dan Anwar Purnama. Mereka bukan staf KBRI, tapi tiga kakek-kakek itu memang sering "dimanfaatkan" tenaganya untuk menjadi guide orang Indonesia yang berkunjung ke Ceko.
"Bapak-bapak ini yang akan mendampingi rombongan. Beliau sudah berpengalaman," ujar Guntur.
Tiga orang itu memang asli Indonesia. Hanya, mereka sudah puluhan tahun "terdampar" di Republik Ceko. Bahkan, sudah menjadi warga negara itu.
Mereka adalah para pelajar yang dulu dikirim pemerintah Soekarno pada 1960-an untuk belajar di Eropa. Namun, akhirnya mereka tidak bisa kembali karena dituduh komunis oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Soeharto.
"Kami ini orang-orang terbuang. Kami sangat kecewa pada pemerintahan Soeharto yang sewenang-wenang dan asal tuduh. Kami dibilang anggota PKI," ungkap Soejono mewakili dua temannya.
Meski usianya sudah menginjak 73 tahun, Soejono tampak masih gesit dan sehat. Logat dan gaya bicara bahasa Indonesianya juga tidak berubah menjadi kebarat-baratan. Bahkan, terdengar njawani.
"Lha saya ini asli Madiun, tapi dibesarkan di Jogja dan Magelang. Saya lulusan SMA Pendowo, Magelang, 1958," aku laki-laki berpostur kecil dengan guratan wajah ramah itu.
Begitu lulus SMA, Soejono memang tidak langsung melanjutkan kuliah. Orang tuanya tidak mempunyai biaya. Baru pada 1963 dia berkesempatan menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dia dikirim oleh pemerintahan Soekarno untuk melanjutkan studi di Republik Ceko.
"Saya masih ingat, saya meninggalkan Indonesia pada 10 September 1963. Sejak itu tidak pernah kembali ke Indonesia. Jadi, sudah 48 tahun lebih saya tinggal di Ceko," jelasnya.
Di negara sosialis itu, Soejono belajar filsafat di Charles University. Tapi, belum sempat merampungkan kuliah, di tanah air pecah revolusi berdarah, Gerakan 30 September 1965 yang konon didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejumlah jenderal dibunuh. Nama Presiden Soekarno dibawa-bawa. Lalu terjadi "kudeta". Soeharto naik.
Kondisi inilah yang akhirnya membawa ketidakpastian bagi sebagian mahasiswa yang sedang menempuh studi di luar negeri, terutama di negara-negara Eropa Timur. Sebab, mereka dianggap berhaluan "kiri" dan PKI. Akibatnya, mereka tidak berani pulang ke tanah air.
"Kalau pulang, berarti setor nyawa. Kalau tidak dibunuh, ya masuk bui," ujar ayah dua anak itu.
Dia menyebut beberapa kawannya yang akhirnya tewas begitu tiba di Indonesia. Beberapa lainnya dibuang ke Pulau Buru bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. "Tapi, ada juga yang selamat. Bahkan, menjadi menteri dan pejabat di era Orba maupun setelah itu," lanjut Soejono tanpa bersedia menyebut nama-nama itu.
Menurut dia, dari 100 mahasiswa yang dikirim pemerintah Soekarno ke Eropa Timur, akhirnya tinggal sekitar 30 orang yang memilih tidak pulang ke tanah air, termasuk Soejono. "Orang-orang terbuang" itu kemudian melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Soeharto. Mereka antipati terhadap rezim Orba yang mereka nilai zalim dan sewenang-wenang.
Selain filsafat, Soejono mempelajari pedagogik dan psikologi anak di kampus yang sama. Kelak, tiga ilmu itu dia manfaatkan untuk mengajar di almamaternya. "Saya sepuluh tahun mengajar di Charles University. Terutama mengajarkan bahasa dan budaya Indonesia kepada para mahasiswa Ceko."
Di Charles University memang terdapat Indonesian Studies. Bahkan, sampai sekarang program itu masih dipertahankan.
Soejono mesti membanting tulang untuk bertahan hidup di negeri orang. Itu sebabnya, selain mengajar, dia bekerja sambilan di perpustakaan Kota Praha. Dia kembali bekerja ekstra lagi setelah kontraknya mengajar dan menunggu perpustakaan habis.
"Saya kemudian jadi buruh serabutan. Khususnya untuk menangani kegiatan pameran-pameran," tambahnya.
Hal itu harus dilakukan karena Soejono sudah menjadi warga Ceko dan beristri perempuan setempat bernama Barunka Soejonova (Barunka istri Soejono, Red). Dari perkawinan gado-gado itu, mereka dikaruniai dua anak laki-laki: Yan Soejono dan Igor Soejono.
Kini kedua anak Soejono sudah mentas dan telah memberinya dua cucu. Yan bekerja di perusahaan ekspedisi, sedangkan Igor berprofesi sebagai geolog. September lalu, Igor mencatatkan diri sebagai "orang Indonesia" pertama yang menginjakkan kaki di Benua Antartika.
Bersama lembaga penelitiannya, dia menjadi salah seorang anggota tim riset geologi di Kutub Selatan itu selama sebulan. "Dia begitu bangga menjadi orang Indonesia pertama di Antartika," kata Soejono.
Namun, kebanggaan anaknya itu dibantah Soejono sendiri. Dia bilang, "Tidak. Kamu bukan orang Indonesia pertama yang ke Antartika. Kamu itu orang Ceko yang blasteran Indonesia."
Era reformasi yang sukses menggulingkan rezim Orba rupanya memberi angin segar bagi "orang-orang terbuang" seperti Soejono cs. Bahkan, ketika menteri hukum dan HAM dijabat Yusril Ihza Mahendra, ada upaya untuk "memaafkan" orang-orang terbuang yang selama ini tinggal di luar negeri. Tapi, kebijakan itu dianggap Soejono dkk sebagai penghinaan.
"Lho, kenapa kami harus menerima pengampunan? Wong kami tidak bersalah. Salah kami itu apa?" ungkap Soejono suatu hari ketika wacana pengampunan bagi "orang-orang terbuang" itu ditanyakan wartawan BBC London yang mewawancarainya.
Dia juga menolak ganti rugi material yang ditawarkan pemerintah Indonesia. "Kami tidak perlu dikasihani, wong kami di sini senang-senang kok. Kami tidak butuh itu," tukasnya.
Menurut Soejono, yang layak mendapat ganti rugi adalah para pejuang yang kemudian justru dituduh PKI lalu diasingkan di Pulau Buru. Nama mereka layak direhabilitasi dan mendapatkan ganti rugi atas "hukuman" yang semestinya tidak mereka jalani.
Kini, di masa tuanya, Soejono cs berusaha untuk tetap berkarya sekecil apa pun. Terutama bagi tanah kelahirannya. Karena itu, dia bersemangat ketika diberi kepercayaan KBRI untuk mendampingi warga Indonesia yang berkunjung ke Ceko. Dengan kamera SLR yang digantung di lehernya, Soejono akan menemani tamunya ke objek-objek wisata Kota Praha.
"Kalau di Jogja, kawasan ini seperti Malioboro. Pusat jualan suvenir. Turis selalu ke sini untuk berbelanja," tandas Soejono yang dua tahun lalu sempat mendampingi duta seni Ceko tampil di Surabaya atas prakarsa budayawan yang pengusaha Henky Kurniadi. (c2/kum)