Soft Landing
Oleh Dhimam Abror Djuraidjpnn.com - DALAM dunia penerbangan dikenal istilah soft landing atau pendaratan yang lembut. Ketika pilot berhasil menjalankan tugas navigasinya melewati berbagai tantangan dalam penerbangan, ia kemudian dituntut bisa mendaratkan pesawat dengan mulus alias soft landing.
Soft landing berlaku juga dalam dunia politik. Seorang penguasa yang mengakhiri jabatannya harus memastikan bahwa dia mendarat dengan soft. Dalam sebuah sistem demokrasi yang mapan, navigasi udara dan petunjuk untuk take off maupun landing sudah tersedia seperti sebuah manual.
Para pilot tinggal menjalankan manual itu sesuai dengan keterampilan politiknya. Pendaratan tidak selalu mulus.
Satu pilot dengan lainnya mempunyai keterampilan yang berbeda-beda. Ada yang bisa mendaratkan pesawat dengan selamat tapi touch down-nya terasa kasar. Ketika roda pesawat menyentuh runway ada benturan yang membuat penumpang terguncang.
Ada pilot yang punya feeling halus dan perhitungan yang matang, sehingga bisa melakukan touch down dengan lembut seolah tidak terasa sudah menyentuh runway. Penumpang akan merasakan proses landing yang tidak membawa kekhawatiran sama sekali.
Akan tetapi, dalam beberapa kasus terjadi perhitungan yang kurang cermat dari sang pilot sampai terjadi hard landing. Memang pesawat tidak sampai celaka, tetapi mendarat dengan benturan yang keras sehingga penumpang terguncang dan beberapa di antaranya mengalami benjol di kepala.
Dalam skenario yang lebih buruk, seorang pilot bisa gagal mendaratkan pesawatnya dan mengalami crashed landing yang bisa menghancurkan pesawat dan membawa korban nyawa.
Tiga skenario pendaratan itu terjadi dalam peristiwa politik di tiga negara, Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Tiga pemimpin negara itu, Soeharto, Lee Kuan Yew, dan Mahathir Muhammad telah memberi contoh bagaimana mengendalikan sebuah pesawat dan akibat-akibat yang harus ditanggung karena cara pengendaliannya yang berbeda-beda.