Bangsa Tempe
Oleh: Dhimam Abror Djuraidjpnn.com - Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.
Itu adalah kutipan dari pidato Bung Karno yang sekarang banyak dikutip lagi gegara tempe yang tiba-tiba menjadi barang mahal karena harga bahan baku kedelai yang melonjak.
Bangsa tempe adalah sebutan yang terkesan pejoratif, merendahkan, karena tempe diasosiasikan dengan kondisi yang lembek tidak punya semangat.
Sebutan bangsa tempe oleh Bung Karno menjadi kontroversi. Ada yang menganggap Bung Karno merendahkan tempe, ada yang menganggapnya sebagai bagian dari retorika Bung Karno yang memang terkenal jago dalam menciptakan berbagai istilah.
Bung Karno mengatakan juga bahwa lebih baik menjadi bangsa tempe daripada makan gaplek.
Dengan tamsil ini Bung Karno ingin membangkitkan semangat bangsa supaya menjadi mandiri dan mampu bersikap independen dari penjajah.
Nasionalisme Bung Karno tidak diragukan lagi. Dia membawa bangsa Indonesia memasuki gerbang kemerdekaan dan melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan.
Secara formal penjajahan telah diakhiri dengan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, penjajahan terselubung masih terus berlangsung, dan Bung Karno selalu mengingatkan bahwa perjuangan melawan penjajahan terselubung itu menjadi perjuangan yang panjang.