Srikandi, Sesepuh Komunitas Pasangan Kawin Campur di Indonesia
Dorong Perempuan Tak Kehilangan Jati Diri, Jaga Rumah Tangga Tetap AwetSenin, 14 Januari 2013 – 07:46 WIB
Misalnya, di mana akan tinggal setelah menikah, gaya hidup apa yang akan dijalani -apakah separo barat, separo timur, atau memilih salah satunya. Kemudian nanti kalau tua menetap di mana, termasuk anak-anaknya akan ikut agama apa, dan bagaimana pendidikannya. "Jangan hanya cinta"cinta"cinta, kalau sudah menikah fakta yang berbicara," tegasnya.
Ries kembali mencontohkan ada kasus seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan orang Prancis. Setelah menikah perempuan ini ikut suaminya ke Negeri Menara Eiffel itu. Setibanya di sana, perempuan ini kaget. Untuk tempat tinggal memang disediakan suaminya. Tapi, dia ternyata harus bekerja untuk memenuhi keperluan rumah tangga. Padahal suminya kaya. "Intinya, kalau sudah benar-benar nyambung, baru boleh kawin. Jangan cuma dibuai cinta," kata Ries.
Bagi orang yang sudah pernah tinggal di luar negeri, biasanya cukup peka dengan hal-hal "teknis" seperti ini. Tapi bagi yang lahir dan besar di Indonesia, umumnya kurang peduli. "Kawin campur dengan orang asing jangan dianggap sama kayak kawin lintas suku," kata ibu empat anak yang lahir di Solok, Sumatera Barat, 20 Maret 1950, itu.