Sungguh Aneh, Parpol Hobi Usung Nonkader di Pilkada
Ray menilai, idealnya partai politik menjadi wadah untuk menggodok kader dan mengorbitkan mereka. Dari situ nanti terjadi proses regenerasi kepemimpinan yang sehat. Bukan hanya untuk internal partai, tetapi juga kepemimpinan nasional.
Selain itu, menurut dia, pengorbitan dibutuhkan guna memantik semangat kader dalam berkarya untuk masyarakat.
Pemberian rekomendasi bisa diartikan sebagai reward kepada kader yang berprestasi. ’’Martabatnya dinaikkan menjadi kepala daerah,’’ imbuhnya.
Jika berprestasi di sebuah daerah, kader itu nanti bisa juga dinaikkan ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.
’’Misalnya, Jokowi dari Solo ke Jakarta, lalu diusung menjadi presiden. Begitu juga Azwar Anas, dari Banyuwangi ke Jatim,’’ tuturnya.
Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengatakan, berpalingnya partai ke sosok yang memiliki elektabilitas dan meninggalkan kadernya merupakan realitas politik saat ini. Kemenangan menjadi faktor utama yang dicari dalam kontestasi pemilu.
Hanya, lanjut dia, hal tersebut bisa memberikan dampak buruk di internal partai. Dalam kasus Golkar di Jawa Barat, diabaikannya Dedi Mulyadi yang menjabat ketua DPD menimbulkan polemik di akar rumput.
Apalagi, aspirasi yang disampaikan DPC menginginkan sosok bupati Purwakarta itu. ’’Praktik seperti itu mematikan aspirasi di bawah. Sebab, partai memilih mengusung orang yang bukan kadernya,’’ ujarnya.