Sungguh Mencekam, Menghadirkan Suasana Perang
Tetapi karena masih was-was dengan serangan Belanda, ketiga puak marga Fau itu memilih membangun desa baru di atas desa induk, yakni Desa Bawomataluo. Setelah beberapa generasi, dua puak yang lebih muda memilih kembali ke Orahili Fau, sedangkan puak yang lebih tua tetap tinggal di Bawomataluo.
Karena rumah adat besar sudah dibakar Belanda, kakak beradik ini sepakat membangun rumah adat besar di masing-masing desa. Disepakati, pembangunan secara gotong-royong dilakukan pertama di Desa Bawomataluo.
Setelah rumah adat ini selesai, giliran membangun rumah adat besar di Desa Orahili Fau. Namun saat pembangunan dimulai, puak si abang dari Desa Bawomataluo memilih pergi berburu sehingga tidak ikut gotong royong.
Inilah asal mula perang. Si adik yang terus menunggu kedatangan si kakak membantu membangun rumah adat, menjadi kesal. Terjadilah perang antardesa.
”Dalam perang itu, kepala suku Orahili Fau tewas,” kata Matius Manao, koreografer sanggar dan pencipta atraksi-atraksi se Nias Selatan, yang menyusun ulang Tari Perang untuk ditampilkan bagi rombongan trip.
Adegan tari perang semakin mencekam saat lembing-lembing dilemparkan... dan ditangkis! Saat ditangkis, lembing terlempar ke tengah lingkaran penari. Penonton pun dihalau keluar batas yang ditetapkan. Demi keselamatan penonton sendiri. Fiuh... seru!
Para prajurit mengenakan perlengkapan tutup kepala yang disebut Laeru. Khusus untuk penghulu adat, penutup kepalanya disebut Laeru Niforai, terbuat dari kuningan (dulunya dari emas asli).
Kemudian ada perlengkapan kalabubu, yaitu kalung yang terbuat dari tempurung atau tanduk binatang, yang bagian belakangnya terbuat dari kuningan ataubesi. Fungsinya sebagai penahan pedang kalau leher ditebas lawan. Beratnya dahulu mencapai 2 kg.