Surga Ikan di Tumbang Malahoi, Kabupaten Gunung Mas, Itu Kini Hilang
Warga Dayak Terpaksa Makan Sarden KalenganTapi, cerita itu tinggal kenangan. Generasi di bawah Boni sudah tidak bisa merasakan berkah sei. Limbah merkuri dari tambang emas menghancurkan ekosistem di sana. Ya, tambang emas di atas sungai tersebut hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan penduduk di sekitar sungai.
Ingkit Djaper, teman perjalanan saya yang juga suku Dayak asli, bertutur, Gunung Mas memang menjadi magnet bagi para pemburu ”harta karun”. Seperti namanya, mereka mengincar emas yang terkandung di perut bumi kabupaten yang namanya mencuat ketika Hambit Bintih, kepala daerah itu, pada 2013 menjadi tersangka kasus suap pilkada di Mahkamah Konstitusi yang melibatkan Akil Mochtar.
Sayangnya, banyak di antara pendulang emas itu yang melakukan penambangan liar. Mereka membuang limbah beracunnya serampangan sehingga mencemari Sungai Baringei.
Padahal, merkuri mengandung racun. Jika termakan ikan dan ikan dikonsumsi manusia, dipastikan racun masuk ke tubuh manusia. Hal tersebut sangat berbahaya. Bisa mengakibatkan kerusakan otak, ginjal, dan hati. Kalau sekarang di Sei Baringei tidak ada ikan, artinya paparan pencemaran di sungai itu sudah parah.
Kasus serupa pernah terjadi di Krueng Teunom, Aceh Jaya. Ribuan ikan menggelepar, mengambang, dan kemudian mati lantaran sungai tercemar limbah tambang emas ilegal. Saya juga teringat ketika empat tahun silam meliput aktivitas meno pendulang emas liar di Sungai Kabur, Timika, Papua. Tak ada tanda kehidupan biota air di kali tersebut.
Begitu mengetahui fenomena di Tumbang Malahoi itu, pertanyaan yang saya simpan dalam hati ketika baru menginjakkan kaki di rumah betang terjawab sudah, mengapa ada ikan sarden kalengan di dapur rumah adat Dayak yang dilestarikan tersebut? Padahal, selama menjelajah tanah Borneo, ikan, ikan, dan ikan jadi menu wajib. Tak peduli makan pagi, siang, maupun malam. Kalimantan memang surga kuliner bagi pencinta ikan.
Esoknya tuan rumah memang menghadirkan juhu lauk untuk sarapan. Masakan ikan berkuah itu menemani bari (nasi) serta juhu dawen kayun alias sayur kacang panjang. Dan bisa ditebak, ikan tersebut dibeli dari bakul keliling. ”Ikannya dari daerah lain,” ucap Boni.
Saya lalu membayangkan ”betapa berat” perjalanan yang harus ditempuh ikan itu untuk sampai ke meja makan di rumah-rumah warga Tumbang Malahoi. Maklum, untuk mencapai desa di tengah hutan tersebut, saya harus bertualang off-road. Medan yang mesti dilalui bukan hanya jalan makadam nan terjal berliku. Sebagian besar juga masih berupa tanah merah. Mobil Avanza yang mengantarkan kami sampai ngepot-ngepot di jalanan tanah liat yang licin karena diguyur hujan. Untung, Bang Ingkit yang mengemudikan mobil cukup lihai dan mengenal medan.