Tak Ada Lagi Pilkada Langsung, Penyurvei Disarankan Alih Profesi
jpnn.com - JAKARTA – Paling merasakan dampak dari UU Pilkada yang baru disahkan yang mana Pilkada cukup dilakukan DPRD setempat kedepannya adalah konsultan politik dan lembaga survei. Sebab akan banyak lembaga-lembaga survei yang ”gulung tikar” karena tidak ada lagi calon gubernur yang membutuhkan jasa mereka dengan sistem Pilkada lewat DPRD.
”Selama ini yang paling banyak memeting keuntungan dari sistem Pilkada langsung bukannya rakyat, tapi lembaga survei dan konsultan politik. Dengan perubahan sistem kembali ke Pilkada lewat DPRD, maka otomatis jasa lembaga survei dan konsultan politik tidak lagi diperlukan,” ujar pengamat politik Universitas Indonesia Prof Dr Muhammad Budyatna kepada INDOPOS (Grup JPNN.com) di Jakarta, Minggu (28/9).
Menurutnya, lembaga survei dan konsultan politik dalam Pilkada langsung banyak menjual jasa survei seperti survei elektabilitas, maupun jasa hitung cepat alias quick count yang menjadi jualan berbagai lembaga survei selama ini. Namun dengan Pilkada via DPRD, maka jasa survei elektabilitas dan jasa hitung cepat tak diperlukan lagi.
”Dalam era Pilkada langsung, lembaga survei dan konsultan politik menjual orang-orang yang memiliki popularitas dan elaktabilitas tinggi. Dengan era Pilkada lewat DPRD, maka elaktabilitas maupun popularitas tidak lagi menjadi penting karena yang menentukan adalah segenap anggota DPRD setempat yang tidak terpengaruh dengan hasil survei,” terangnya.
Budyatna menambahkan, lembaga survei dan konsultan politik dalam era pilkada lewat DPRD tidak lagi bisa menjual rakyat untuk keuntungan mereka. Maka kata Budyatna, dengan kekuatan yang mereka miliki saat ini, mereka tentu akan mengerahkan segala upaya dan kemampuan agar pasal itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. ”Dengan kemampuan mereka memainkan opini, mereka bisa saja menekan MK dengan segala argumentasi bahwa pemilihan lewat DPRD tidak demokratis. Kenapa ? karena ini sudah menyangkut perut dan pendaringan mereka, dan untuk itu mereka akan bertarung habis-habisan agar UU ini dibatalkan MK,” ungkap Guru Besar ilmu politik UI ini.
Namun diminta Budyatna, daripada melakukan upaya penggalan itu dengan cara memanipulasi rakyat seperti yang mereka lakukan saat ini, maka sebaiknya lembaga-lembaga survei beralih menjual kebutuhan rakyat. ”Dulu’kan mereka selalu menjual rakyat, padahal ujungnya hanya uang yang sangat besar. Sekarang daripada bangkrut dan tidak ada pekerjaan, lebih baik para pemilik lembaga survei itu menjual kebutuhan rakyat seperti menjual tahu dan tempe saja,” tegasnya.
Hal senada dilontarkan Sekjen PPP Romahurmuziy alias Romi yang mengatakan lembaga survei dan konsultan politik dengan Pilkada langsung akan mengalami kiamat sugro alias kiamat kecil. Sebab demokrasi prosedural yang dilakukan melalui survei politik tidak akan lagi bisa dilakukan. Romi pun mengusulkan agar pengusaha lembaga survei ini sebaiknya segera alih profesi.
”Selama ini lembaga survei dengan jualan survei elektabilitas dan survei popularitasnya dalam menaikkan calon kepala daerah sebenarnya hanya hasil ciptaan mereka untuk menggiring warga memilih pemimpin. Sehingga orang-orang yang benar-benar memiliki kapasitas dan integritas serta aspek lainnya yang dibutuhkan seorang pemimpin sejati dikalahkan orang-orang yang sekedar populer dan memiliki elektabilitas tinggi saja,” tutur Romi.