Tak Jauh dari Kantor Wali Kota, Tangis Ibu-ibu Meledak
jpnn.com - SORONG - Proses eksekusi tanah dari kasus perdata di Jalan Mambruk, tak jauh dari kantor Wali Kota Sorong, Papua Barat, Kamis (14/4) berakhir dengan banjir air mata.
Tangis pilu bentuk luapan kecewa pecah, ketika puluhan aparat kepolisian dengan tameng tiba di lokasi untuk mengamankan proses eksekusi, yang dimulai sekitar pukul 10.00 WIT. Dari pantauan Radar Sorong, ibu-ibu yang tinggal di bangunan di atas tanah yang akan dieksekusi tak kuasa membendung isak tangis, saat panitera Pengadilan Negeri Sorong membacakan surat penetapan, untuk melaksanakan eksekusi.
Pemilik bangunan, dan beberapa ibu yang tinggal di indekos menangis di hadapan polisi. Bahkan, salah seorang wanita menerobos barisan aparat dan bersujud di kaki polwan. Ia meminta agar proses eksekusi dibatalkan.
Sayangnya, tangisan para ibu-ibu itu tak menggoyahkan prosesi eksekusi. Eksekusi untuk mengosongkan bangunan dan segala macam bentuknya di atas tanah itu tetap dilanjutkan. Puluhan polisi dikerahkan mengamankan lokasi. Pihak panitera Pengadilan Negeri Sorong dikawal aparat tiba di lokasi pukul 10.00 WIT.
Aparat mengapit panitera yang membacakan surat penetapan sebelum eksekusi dimulai. Pemilik rumah dan mereka yang tinggal kost pun menghadapi kedatangan aparat. Mereka meminta dan memohon agar panitera menunda pembacaan surat penetapan, dan menunda proses eksekusi dimaksud. "Saya mohon pak, jangan dibacakan dulu pak,” kata salah seorang warga yang tinggal di rumah di atas tanah dimaksud.
Setelah membacakan surat penetapan nomor 01/Pen.Eks/2016/PN.SRG jo Nomor 27/Perdt/G/1982/PN.SRG, telah membacakan putusan Pengadilan Negeri Sorong tanggal 20 September 1982. Yakni perkara perdata masalah tanah, Rosani Tjan selaku pemohon eksekusi dan Ny Lewahariwa selaku termohon eksekusi.
Pemilik rumah yang merupakan ahli waris dari termohon ekseskusi menangis. Dibantu para ibu-ibu yang tinggal di kost di rumah tersebut. ibu-ibu sempat menolak rumah mereka dieksekusi. Pasalnya, rumah tersebut diakui sebagai satu-satunya barang berharga yang dimiliki. “Kami mau tinggal dimana, mau tidur dimana,” teriak para ibu-ibu.
Mereka meminta agar eksekusi dibatalkan, mereka mengatakan, ada rumah yang baru selesai dibangun dan belum sempat ditempati. Namun harus segera dieksekusi, padahal dindingnya masih bata dan belum diplester.