Tamu-Tamu dengan Persoalan Keluarga
Oleh Dahlan IskanSaya akan menuliskan soal penderitaan anak genius ini minggu depan. Terutama bagaimana si anak ternyata merasa tidak pernah bisa dipahami oleh lingkungannya. Bahkan oleh keluarga sendiri. Suatu saat, tumben, nilai si anak tidak 100. Orang tuanya menegurnya. Si anak mendongkol.
Dalam hati. Dia simpan kedongkolannya itu. Dia tidak pernah mau menjelaskan bahwa hari itu dia sengaja menjawab salah. Untuk sekadar ingin merasakan bagaimana rasanya sesekali tidak mendapat nilai 100.
Sebetulnya masih ada beberapa tamu lagi hari itu. Tamu ketiga ini juga membawa masalah keluarga. Tapi tidak perlu saya uraikan di sini. Terlalu biasa. Hanya problem sepele.
Bagaimana pemuda ini terlalu dicintai istrinya. Sampai-sampai dia terlibat utang macet di beberapa bank. Dengan jaminan milik istrinya.
Kali ini dia tidak berani bicara pada sang istri. Sayalah yang diminta bicara.
Bagi saya, ini mudah. Saya tidak punya problem psikologis dengan suami istri yang belum punya anak ini. Toh saya baru kenal dia hari itu juga. Dan baru akan kenal istrinya keesokan harinya.
Alhamdulillah. Keputusan saya pun dituruti keduanya. Ini karena mereka sudah mengenal saya bertahun-tahun. Menurut perasaan mereka. Alhamdulillah. Istrinya juga bisa menerima. Toh saya tidak memutuskan untuk memisahkannya. (*)