Tanah Berlumpur Telan Rumah Diduga juga Mengubur Korban
jpnn.com, PALU - Masa tanggap darurat pascagempa dan tsunami Sulawesi Tengah (Sulteng) berakhir Kamis mendatang (11/10). Keluarga berharap sisa beberapa hari masa tanggap darurat dapat dimaksimalkan untuk pencarian dan pengidentifikasian korban hilang yang diduga mencapai 5.000 orang.
Terutama yang berada di kawasan terdampak likuifaksi. Misalnya, Petobo dan Balaroa di Kota Palu serta Jono Oge, Mpano, Sidera, Lolu, dan Biromaru di Kabupaten Sigi. Tanah yang menjadi berlumpur pascagempa dan menelan rumah itu diperkirakan juga mengubur korban.
Sebagian keluarga di Balaroa menyesalkan lambannya evakuasi dan identifikasi korban oleh pemerintah. Kondisi tersebut membuat keluarga terus menunggu dalam ketidakpastian.
Keresahan itulah yang dialami Tomo. Warga Perumnas Balaroa tersebut kehilangan ibu, dua adik, dan dua anak. Dia mengungkapkan, proses evakuasi lima anggota keluarganya itu dilakukan sendiri.
Hanya dibantu saudara dan para tetangga. ”Tidak dibantu petugas SAR,” jelasnya kepada Jawa Pos, Minggu (7/10). Dari proses evakuasi keluarganya itu, hingga kemarin Tomo belum menemukan Randi Saputra, anak keduanya.
Untuk menemukan anaknya itu, Tomo sudah berkeliling ke berbagai tempat pengungsian. Dia juga sudah mengecek beberapa pemakaman masal korban gempa yang dibuat pemerintah.
Dia menyesalkan soal tidak adanya proses identifikasi korban meninggal yang ditemukan tim SAR. Itu terbukti ketika dia berkunjung ke tempat pemakaman masal di Poboya kemarin. Dia datang ke tempat itu karena mendengar informasi ada pemakaman 30 jenazah anak. ”Saya tanya nama yang dikubur siapa tidak ada. Saya tanya ciri korban yang dikubur juga tidak ada,” jelas lelaki 45 tahun itu.
Dia menilai, seharusnya tim evakuasi mendata korban yang ditemukan. Jika identitasnya tidak ditemukan, paling tidak baju atau perhiasan yang dipakai dicatat. Kondisi itu perlu untuk menenangkan orang tua yang terus mencari anaknya.