Tangani Perubahan Iklim, Wamenlu: Indonesia Menjaga Kesepakatan Perjanjian Internasional
Amankan Kepentingan Nasional
Persoalan ini, lanjut Mahendra terkadang kita jumpai, baik di tingkat multilateral yang ingin memaksakan pada pihak tertentu yang seakan-akan sama atau dalam hubungan bilateral yang berkehendak sama. Bahkan di tingkat yang sifatnya bukan pemerintah, baik bisnis, lembaga keuangan, semata-mata menerapkan standar tertentu harus begitu, karena alasan standar di negara pusatnya seperti itu.
Padahal dia ada di negara berkembang atau melakukan pembiayaan finansial di negara berkembang yang tujuannya mengatasi kemiskinan.
Belum lagi, seakan-akan dinilai dan kemudian diawasi oleh satu proses yang juga tidak mengindahkan konteks yang besar tadi, sehingga akhirnya mereka takut untuk melakukan pembiayaan pembangunan atau kegiatan bisnis karena ada pengawasan dari konsultan, LSM, atau seakan-akan ada teknologi pengawasan satelit bahwa mekanisme yang sebenarnya dalam proses yang sudah mapan dan diakui, apakah melalui audit dan survei, malah ada lagi yang melakukan pengawasan dari atas yang tidak sesuai dengan proses, kewenangan dan yurisdiksi dari negara di tempat dilakukan.
“Ini yang persoalan, balik lagi ke prioritas dan nilai-nilai yang berbeda, padahal sudah ada perjanjiannya dan ini diperlukan untuk menempatkan pada konteks yang benar dan terus menjalankan komitmen kita yang sudah dijalankan tetapi di lain pihak mengamankan kepentingan nasional kita yang sudah diakui dunia internasional untuk tetap bisa dijalankan.
Mahendra mengatakan kita harus belajar terus baik dari pencapaian dan kekurangan. Kita kan sudah komit dalam NDC yang 29 meski kita bukan anek 1, sekarang komitmen kita pada komitmen internasional dan kepentingan nasional dan kita tidak perlu ikut-ikutan dengan langkah-langkah pihak lain yang ingin membuat komitmen baru seperti dengan unilateral. Itu komitmen sepihak, tidak dalam format dan cakupan perjanjian internasional dan malah menjadikan orang lengah atau lupa untuk mempertanyakan komitemn mereka dalam perjanjian itu apakah sampai terdeliver, tetapi malah buat komitmen baru.
“Contoh ingin melakukan zero karbon ekonomi misalnya, itu kan komitmen nasional dan bukan yang tidak diakui perjanjian internasional, seakan-akan lebih hebat dari yang lain dan yang bersangkutan bisa memenangkan proses pemilihan bersangkutan. Menurut saya, itu politisasi Perubahan Iklim, padahal bagaimana komitmen Anda dalam NDC sudah tercapai apa tidak, termasuk komitmen pembiayaan 100 miliar dollar AS, kok malah membuat komitmen itu,” tambah Mahendra.(jpnn)