Teka-Teki Koalisi Capres dan Cawapres
Keempat, terkait restu ketua umum Parpol pengusung utama Jokowi. Bagi Jokowi elektabilitas itu sangat penting, dan Jokowi tidak lagi bicara setelah 2024. Sementara, logika PDIP berbeda, bicara setelah 2024.
Karena itu, PDIP menilai tidak mau kalau bukan kader mereka untuk keberlanjutan partai. Kalau panggung cawapres ini diambil elite partai yang bukan kader PDIP, maka figur wapres tersebut bisa terang lampunya di tahun 2024, jelas itu membahayakan masa depan dan kemajuan PDIP, karena wapres sudah curi start.
Kelima, kombinasi ideal yaitu nasionalis religius, cawapres Jokowi tidak perlu dipaksakan ahli di bidang ekonomi, hukum dan politik. Nanti sudah cukup diperkuat menteri Koordinator (Menko).
Namun yang terpenting cawapres harus berbeda ceruk segmen pemilih dengan capres, ngak boleh sama. Oleh karena itu, segmen Jokowi nasionalis dan cawapresnya mesti dari segmen ceruk religius (ulama ataubsantri).
Poros Ketiga
Sebetulnya Gerindra tidak begitu sulit mengusung Prabowo menjadi capres, tinggal mencari dan menyakinkan satu partai koalisi lagi untuk memenuhi ambang batas aturan presidential threshold (PT) sebesar 20-25 persen dalam UU Pemilu.
Berbeda dengan dengan poros ketiga yang sedang coba digadang-gadang dibangun oleh partai demokrat, minimal harus mampu menarik dua parpol koalisi lagi agar bisa memenuhi syarat administratif sebagai prasyarat mengusung capres dan cawapres.
Partai demokrat terus berupaya melakukan konsolidasi, silaturahim dan penjajakan awal ke beberapa parpol koalisi lainnya. Dengan mencoba menawarkan tiga opsi. Opsi pertama bergabung ke koalisi Jokowi. Opsi kedua, bergabung ke poros Prabowo. Opsi ketiga, membentuk poros ketiga/alternatif dengan parpol koalisi lainnya.
Demokrat akan menangkap bola pantulan koalisi yang belum memutuskan bergabung ke koalisi Jokowi dan Prabowo.