Terpaksa Bergaya Preman Hadapi Siswa Nakal
Dia tahu, hari-harinya ke depan bakal berat. Apalagi pada saat yang hampir bersamaan dengan keluarnya SK itu pada 6 Agustus 2009, datang kesempatan untuk melanjutkan studi ke strata tiga (doktor). Kepalanya sempat pusing karena harus bisa membagi waktu untuk studi S-3 di kampus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan mengepalai sekolah yang melarat.
Kisah seru terjadi saat anggota Dewan Pakar Perempuan Melayu Kalimantan Barat itu berusaha keras meraih gelar doktor dan menjadi kepala SDN 68. Dia harus disiplin dalam mengatur waktu di tengah upaya menyelesaikan masalah siswanya yang nakal-nakal.
Usahanya tidak sia-sia. Dia mampu meraih gelar doktor pertama di antara 30 peserta program S-3 di Unair. Sebanyak 26 orang di antara jumlah itu adalah dosen Universitas Tanjungpura, Pontianak. ’’Hanya saya seorang yang berasal dari birokrasi pendidikan,’’ terang istri Muhammad Hasan tersebut.
Perempuan berjilbab tersebut tidak hanya moncer saat menyelesaikan studi doktornya. Baik gelar sarjana maupun pascasarjana, Fauziah selalu mampu menyelesaikan tepat waktu. Hebatnya lagi, di tengah kesibukan mengajar dan menjadi ibu rumah tangga, dia bisa menyelesaikan semua jenjang studinya dengan predikat cum laude.
Ada teknik yang selalu digunakan ibunda Indah Mahfuzhah, 24, dan Hirzan Hasfani, 21, itu untuk disiplin waktu. Bagi dia, untuk menyiasati waktu, semua harus dikalikan nol. Jadi, bilangan berapa pun bila dikalikan nol hasilnya tetap nol. Dengan rumus seperti itu, Fauziah tidak ingin menunda-nunda pekerjaan yang ada. Sebab, menunda pekerjaan berarti membebani pikiran.
Karena itu, dia rela tinggal di sekolah sampai sore hari untuk menyelesaikan semua masalah yang ada. Guru yang mengawali karirnya pada pertengahan 1980-an itu paling anti membawa masalah di sekolah ke rumah. Begitu pula sebaliknya.
Fauziah baru mengerjakan disertasi saat jarum jam di atas pukul 21.00 atau 22.00. ’’Saya punya banyak schedule. Jadi, saya harus disiplin dengan waktu. Karena itu, tidur dua jam sehari pun saya lakukan,’’ tutur guru kelahiran 6 Agustus 1965 tersebut.
Aktivitasnya dimulai saat azan salat Subuh berkumandang. Setelah itu, dia harus ke sekolah untuk bekerja. Tekad untuk menjadi segelintir guru SD bergelar doktor membuat dia enjoy meski harus banyak prihatin. Rasa senang untuk mengerjakan sesuatu tanpa paksaan membuatnya kuat menjalani ketatnya dalam membagi waktu.