The Raid Merantau di Festival dan Pasar Dunia
Karya lain yang pernah diputar di pembukaan Festival de Cannes Clasic 2012, adalah film Lewat Jam Malam, karya sutradara Usmar Ismail, penulis Asrul Sani, dan pemerannya AN Alcaff dan Netty Herawati. Ini sebenarnya film lama, yang direstorasi di laboratorium L’lmmagine Ritrovata, dan diputar lagi 18 Juni 2012. Sebuah karya yang boleh diacungi jempol untuk mendorong ide-ide kreatif baru agar produksi Indonesia terus berkibar di kancah internasional.
“Kami sudah 8 tahun tampil di Cannes, sebagai festival dan marche (market) film terbesar di dunia. Kami juga tampil di Berlinale, Jerman. Kami juga membuka pasar dan memperkenalkan produk film nasional di Los Angeles, AS. Lalu pasar Asia di Hongkong dan Busan, Korsel. Sebentar lagi ada festival di Filipina, yang akan menjadi embrio bagi festival ASEAN. Kami akan berpartisipasi di sana, untuk memperkuat pasar film nasional, sehingga kita punya rumah sendiri, untuk promosi dan kerjasama produksi,” jelas Syamsul yang hadir bersama Direktur Pengembangan Industri Perfilman, Armen Firmansyah.
Seperti diketahui, film itu ada banyak genre-nya. Film juga ada banyak tujuan atau target pembuatannya. Film-film komersial sebagai industri, termasuk kreasi yang bisa menjadi business opportunity, itu menjadi wilayah kerja Kemenparekraf. Sedang film-film documenter, film sejarah, yang lebih sebagai produk keilmuan dan kebudayaan, menjadi tanggung jawab Kemendiknas. Jadi perfilman ini menjadi urusan lintas kementerian. Tetapi, prinsip dan komitmen pemerintah jelas, bahwa film harus dibantu pengembangannya.
John Badalu Matulatan, Penggiat Festival Film menilai posisi film Indonesia di ASEAN sebenarnya sangat eksis. Setara dengan Thailand dan Filipina. The Raid adalah contoh film yang mampu mempertemukan, antara film sebagai produk untuk festival, dan film sebagai produk yang available terhadap market. “Dari The Raid itulah, nama Indonesia sering disebut-sebut dalam pentas dunia,” ucap John Badalu.
Melihat film itu ada dua hal, menurut John Badalu. Pertama soal jumlah produksi dan kedua soal cerita atau kreativitas. Kalau dari soal cerita, Indonesia tidak kalah. Potensinya besar. Dan kalau sudah urusan cerita ini, tidak lagi terbatas pada Negara. Dari mana saja, kalau kisah dalam film itu bagus, akan tetap diapresiasi public, di mana pun juga.
Kualitas produk itu menghasilkan pasar! Pasar itu mendikte, bahkan memaksa kualitas produk. Darimana harus dimulai? Menggenjot produksi film dan menaikkan mutu? Atau membuka dan membanjiri pasar seluas-luasnya dengan karya-karya film nasional? “Pasar film, industri film dan karya film itu tidak bisa dipisahkan. Mereka sejalan dan seiring. Industri dan pasar akan terbentuk sebagai konsekuensi terhadap produk film yang berkualitas,” kata Alex Komang, Ketua Badan Perfilman Indonesia.
Sementara itu, Gope T Samtani, RAPI Films yang sudah 45 tahun terjun di dunia perfilman, dan 30 tahun ikut Cannes Festival, menyebut dukungan Kementerian Parekraf dalam membuka booth di festival dan pasar Cannes itu sangat berarti. “Kami pernah off, tahun 1998, ketika krisis moneter. Ketika rupiah anjlok, dari Rp 2.500 per USD menjadi Rp 12.000 per USD. Kami tidak bisa ke mana-mana, tidak bisa import, karena ongkosnya menjadi sangat tidak feasible,” kata Gope.
Tetapi, ketika Kementerian Pariwisata saat itu memfasilitasi untuk berpromosi di pasar film dunia, Gope dan industriawan film lain langsung merespon positif. Seperti mendapatkan oase di tengah padang pasir yang kering, panas dan haus. “Kami sangat senang, karena itu akan mendorong produksi film lebih banyak lagi ke depan,” kata dia.