Tiga Bulan Bisa Keliling Eropa tanpa Biaya
BAHASA adalah identitas bangsa. Namun, lain cerita dengan bahasa Esperanto, bahasa internasional tanpa embel-embel negara. Bahasa yang sempat dianggap paham garis kiri itu kini digiatkan lagi oleh Asosiasi Esperanto Indonesia.
----------
M. SALSABYL A, Jakarta
----------
"Saluton!" Begitulah Ilia Sumilfia Dewi, 35, menyapa Jawa Pos yang menemuinya di Food Court Plaza Semanggi, Jakarta, Minggu (19/1).
Itulah salah satu kata dalam bahasa Esperanto yang artinya mirip "hello". Ilia termasuk aktivis di Asosiasi Esperanto Indonesia (AEI), komunitas pengguna bahasa ciptaan L.L. Zamenhoff, seorang dokter mata asal Polandia, tersebut. Bahasa itu diciptakan agar menjadi lingua franca (bahasa pergaulan) untuk semua penduduk di dunia.
Saat pertemuan Minggu itu, Ilia datang bersama dua temannya sesama anggota AEI, Eko Nur Syah Hidayat dan Juliet. Mereka duduk dengan latar belakang bendera hijau dengan gambar bintang putih di pojok kanan. Bendera itulah yang digunakan sebagai identitas para esperantist, sebutan untuk pengguna bahasa Esperanto.
"Anggota aktif kami di Jakarta ada 12 orang. Tapi, teman-teman kayaknya berhalangan hadir karena sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jakarta juga lagi banjir. Jadi, yang bisa kumpul cuma kami bertiga," jelas perempuan yang menjabat presiden AEI tersebut.
Setelah memesan minuman, Ilia bersama dua temannya mulai menjelaskan aktivitas komunitasnya. Mereka juga menceritakan pengalaman-pengalaman kebahasaan yang mereka alami. Misalnya, yang dialami Eko Nur Syah Hidayat yang baru kembali dari Konferensi Esperanto di Canberra, Australia.
Eko mengisahkan pengalamannya itu dalam bahasa Esperanto yang sulit dipahami orang yang belum pernah mendengarnya. Karena itu, pada setiap akhir kalimat, Ilia membantu dengan menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia.
"Banyak masalah yang tak terduga. Karena delay, saya baru tiba di Canberra pada 4 Januari. Akibatnya, saya terlambat dan ketinggalan beberapa acara," tutur Ilia menerjemahkan penjelasan Eko.
Dia menambahkan, dalam konferensi itu, diadakan pula malam Indonesia. Eko bersama seorang anggota AEI yang lain tampil. Eko memperkenalkan bahasa Sunda yang dikuasainya, sedangkan peserta Indonesia yang lain membawa budaya Batak.