Tika Bima
Oleh: Dahlan IskanSaya berpikir sebentar. Antara kasihan dan memberi tantangan. "Berangkat saja," kata saya.
"Wartawan jangan terpaku pada hanya satu sumber. Kalaupun tidak bisa bertemu beliau, Anda bisa bertemu teman-teman Bima di desa itu. Atau bertemu keluarga Bima yang lain. Atau guru-gurunya," kata saya.
Mungkin Tika lagi mempertimbangkan apakah memadai berkubang-kubang tiga jam ke rumah Bima tanpa bertemu ayahnya. Tetapi saya punya pengalaman panjang soal beginian. Kegigihan akan memberi hasil yang kadang di luar perkiraan.
Tidak ada tanda Tika mengeluh. Dia berangkat. Dia hanya bertanya apakah masih memadai ke desa yang begitu jauh.
"Setidaknya, di sepanjang perjalanan, Anda bisa menghitung ada berapa ratus kubangan menuju rumah Bima," kata saya.
Maka pukul 09.10, Minggu pagi, Tika berangkat dari rumahnya. Dia naik sepeda motor milik sendiri. Bukan milik kantor. Tidak ada lagi media yang memberi kendaraan pada reporternya.
Jerih payah Tika membuahkan hasil. Dia ternyata bisa bertemu keluarga Bima. Lengkap. Kakaknya, ibunya dan akhirnya ayahnya. Rupanya semua lubang di sepanjang jalan ikut mendoakan Tika.
Malam itu juga Tika sudah kirim tulisan. "Tulisan Anda bagus," komentar yang saya kirim ke HP Tika.