Traveling and Teaching: Siswa Berpakaian Hitam, Siswi Kenakan Kebaya
Lantaran medan yang berat dan terjal, perjalanan menuju lokasi Kasepuhan Cipta Gelar pun harus ditempuh selama 14 jam. Namun, kendati saat mereka tiba matahari sudah terbenam, suasana damai di desa terpencil itu sangat terasa. Rumah-rumah adat berjejer dengan rumah inti atau imah gede di tengahnya. Rombongan disambut warga dengan senyum serta suasana yang ramah.
Desa itu belum teraliri listrik PLN. Lampu-lampu rumah warga hanya bisa dinyalakan saat malam dengan menggunakan generator. Itu pun hanya beberapa titik. Di luar rumah, suasana tetap gelap gulita.
Saat rombongan diterima di rumah inti, tuan rumah telah menyiapkan suguhan khas desa itu: pisang rebus, kacang godok, kopi asli Cipta Gelar, serta makanan-makanan lain. Mereka disambut pemimpin Kasepuhan Cipta Gelar Abah Ugi yang menceritakan asal muasal kasepuhan tersebut.
Sebelum beristirahat, para peserta dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, 4–5 orang. Mereka harus menyiapkan bahan untuk mengajar esok harinya di SD dan SMP Cipta Gelar. Masing-masing kelompok mendapat tugas mengajar sesuai dengan kemampuan dan keahlian di kelas yang sudah ditentukan. Misalnya, untuk kelas 1 SD, tema pelajaran yang diberikan adalah pengenalan organ-organ tubuh. Karena itu, kelompok yang mengajar di kelas wajib menyiapkan alat peraga yang berhubungan dengan tema pelajaran.
Paginya, para peserta mulai menjalankan tugas mengajar di SD dan SMP di sekitar 100 meter dari rumah inti, tempat menginap peserta. Sekitar 150 siswa sekolah itu telah siap menyambut ’’guru-guru dadakan’’ tersebut. Mereka mengenakan pakaian adat setempat. Siswa laki-laki menggunakan pakaian hitam-hitam dengan ikat kepala, sedangkan siswa perempuan mengenakan kebaya. (jpnn)