Tsamara
Oleh: Dhimam Abror DjuraidPSI milenial tidak melahirkan budaya politik baru kecuali sebutan ‘’bro dan sis’’ yang menjadi trademark mereka.
Elite-elite PSI seperti Grace Natalie tidak mempunyai kapasitas intelektual yang cukup untuk mengangkat isu-isu global. Terpilihnya Giring Ganesha sebagai ketua umum partai menunjukkan bahwa partai ini lebih suka memilih ‘’brand’’ ketimbang ‘’brain’’, memilih nama terkenal ketimbang otak cemerlang.
Kader yang punya pengalaman intelektual dan aktivisme yang mumpuni seperi Juli Raja Antoni, akhirnya harus minggir memberi tempat kepada Dea Tunggaesti sebagai sekjen.
Satu-satunya yang diketahui publik mengenai Dea adalah dia kakak kandung Dokter Raisa Broto Asmoro. Itu saja, selebihnya tidak ada.
Sulit mengharapkan munculnya wacana intelektual dari komposisi elite partai seperti itu. PSI mencoba merekrut kader dari luar seperti Faldo Maldini yang dibajak dari PAN. Faldo yang punya latar belakang aktivisme dan intelektualitas yang baik mungkin terkaget-kaget begitu masuk ke PSI.
Tidak perlu waktu lama bagi Faldo untuk merasa kesepian dan terisolasi di lingkungan PSI. Dia pun lebih banyak muncul dengan atribut sebagai jubir sekretariat negara ketimbang sebagai kader PSI.
Dalam kondisi seperti ini bisa dipahami mengapa Tsmara Amany merasa butuh atmosfer lain untuk bisa lebih mengekspresikan gagasan-gagasannya.
Sebagai anak muda milenial yang punya kapasitas intelektual besar Tsamara tidak menemukan lahan yang cukup subur untuk berkembang di PSI.