Tumbang di Final PD ke-6
Catatan Arsito Hidayatullah, JakartaSenin, 12 Juli 2010 – 12:17 WIB
To cut the story short, empat tahun tak terasa, lantas sudah datang saja PD 1990 (di Italia). Lalu empat tahun berikutnya PD 1994 (di AS), dilanjutkan PD 1998 (Prancis), PD 2002 (Korsel-Jepang), serta PD 2006 (di Jerman), sebelum akhirnya hadir yang tahun ini. Final PD 1990 meninggalkan bayang-bayang tendangan penalti Andreas Brehme untuk kemenangan Jerman, yang saya nikmati tengah malam pada masa liburan di rumah tua di desa terpencil nan indah di Simarasok (Sumbar) sana. Final 1994 saat mencari (kemungkinan) peluang kerja - antisipasi jika tak kuliah - di Batam. Lalu, final PD 1998 di masa-masa antiklimaks kegiatan demo aksi reformasi di Padang, final 2002 ketika sudah berstatus wartawan dan kebetulan tengah meliput di Pesta Danau Toba sendirian, serta final PD 2006 di Pekanbaru (sambil santai bersama rekan wartawan yang sama-sama terbiasa menulis bola).
Lantas sekarang, ternyata final PD 2010 yang sedari awal memang menarik karena ada hal-hal yang berbeda, harus berbeda juga bagi saya. Bukan, bukan lantaran akhirnya dapat tugas yang diimpi-impikan dan hadir langsung di Afsel sana di tengah atmosfir aslinya yang pasti luar biasa. Sesuatu yang sampai seumuran ini masih saja menjadi mimpi saya kendati sebenarnya ada 'celah' untuk mewujudkannya (sebagai wartawan) - entah kalau 2014 di Brazil kelak. Yang berbeda adalah karena untuk (tayangan) final ini saya sama sekali harus melewatkannya, lantaran terbaring ketiduran di kantor sendirian, gara-gara perut yang melilit mules, masuk angin sejak sejam sebelumnya.
Baru terbangun ketika stasiun TV sudah 'ribut' membahas gol tunggal Spanyol yang jadi penentu itu, saya hanya bisa 'menikmati' jalannya laga lewat laporan internet dan sesekali cuplikan di TV. Apes? Entahlah. Padahal di hampir seluruh pertandingan yang penting dan saya pilih ingin nikmati di sepanjang penyelengaraan PD kali ini, saya sukses bertahan bahkan sampai berita (laporannya) kelar. Padahal pula hampir semua tugas pemunculan headline utama (world cup) portal JPNN ini sedari hari pertama tak pernah gagal dieksekusi. Lalu kenapa di final malah tumbang? Ah, tapi saya bertekad, kalau memang umur panjang, dan 2014 dapat kesempatan entah bagaimana berada di Rio de Janeiro atau Sao Paolo, tak akan ada lagi yang namanya 'tumbang-tumbangan' begini kelak. Ingat, ini janji seorang pecinta bola! (ito/jpnn)