Tupai Chong
Oleh: Dahlan IskanYang jelas saya tidak undang istri saya: punya komorbid. Tidak undang dua anak saya: benci durian.
Azrul Ananda pernah pingsan di dekat durian. Waktu kecil. Waktu diajak jalan di dekat tumpukan durian di Singapura.
Maka kemarin malam itu, di bawah rindang pohon-pohon mangga di halaman, di depan studio gamelan, di bawah sinar bulan yang masih bulat terang, saya membuka si Tupai Chong. Buahnya kecil –hanya lebih besar dari sepuluh kepala tupai disatukan.
Warnanya benar: keemasan.
Lalu saya pejamkan mata untuk mencicipinya. Ganti saya yang pingsan –seolah-olah.
Sambil mengisap daging durian itu, pelan-pelan, khayalan saya ke Singapura, ke Malaysia, ke Vietnam, ke Thailand, ke Hainan: semua kalah. Warnanya, rasanya, manis-pahitnya, teksturnya, serbasempurna.
Kelemahannya: tidak ada.
Ups...ada. Di seluruh Bangka pohonnya hanya ada satu. Tinggal satu itu. Milik Pak Chong. Itulah sebabnya dinamakan Tupai Chong.