UN Dihapus, Guru Honorer Juga Harus Paham Asesmen Kompetensi
“Apakah itu tidak berbiaya? Ya berbiaya. Biaya bukan alasan utama untuk mengganti UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Kalau soal biaya, UN pun hanya berapa ribu per anak, jadi pertimbangan biaya bukan alasan,” ujar Totok.
Dikatakan, model AKM ini sudah dirintis sejak awal, dan sudah dimulai serta uji coba.
“Kami sudah punya embrionya dan sudah mulai dilakukan uji coba. Sama sekali tidak coba-coba. Sangat bahaya pendidikan itu coba-coba. Apakah akan menjamin, insyaallah lebih baik. Kami punya keyakinan, AKM yang mengarahkan pada penguasaan kompetensi bernalar sesuai kaidah-kaidah pendidikan. Pendidikan tidak hanya menguasai mapel, tapi juga melatih berpikir anak. Ini yang selama ini kurang. Kajian sudah, bahkan sudah praktik, di antaranya Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI)," tandasnya.
Totok menjelaskan, asesmen memberikan cermin dan alat refleksi bagi guru untuk mengetahui kekurangannya di mana. Sehingga kalau guru melakukan perbaikan kompetensi, dasarnya ada. Jadi, katakanlah kemampuan anak-anak menggunakan konsep matematika, tentang bilangan, ternyata kurang. Ini justru lebih mengarahkan program peningkatan kompetensi bagi guru. Kalau tidak ada itu, tidak ada cermin.
Asemen tidak berhenti di sini, selanjutnya untuk perbaikan. Assessment for learning. "Jadi bukan asesmen untuk men-judge siswa pintar atau kurang pintar. Lulus atau tidak. Yang berhak meluluskan itu tetap sekolah berdasarkan asesmen dari guru.
Nanti parameternya, tetap standar. Misalnya matematika sampai menguasai bilangan pecahan. “Itu tetap ada feel ke situ. Ada proses penalaran," pungkas Plt Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) ini. (esy/jpnn)