Upah Buruh Per Jam, Jika Cuti atau Sakit tak Punya Duit
jpnn.com, JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak RUU Omnibus Law klaster ketenagakerjaan yang disebut mengubah upah bulanan buruh menjadi upah per jam.
KSPI mengkhawatirkan upah minimum akan hilang jika terjadi perubahan sistem upah menjadi per jam, karena dapat menyebabkan pengurangan upah yang merugikan para pekerja.
"Berapa jam sih buruh dapat bekerja dalam seminggu itu tidak dijelaskan dalam Omnibus Law, sehingga upah minimum akan tereduksi dengan sendirinya. Maka kenapa upah kerja per jam kami tolak karena tidak mau upah minimum itu dihilangkan," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Sabtu (28/12).
Said Iqbal mengatakan, dalam rancangan Omnibus Law klaster ketenagakerjaan tidak disebutkan jumlah jam buruh atau karyawan atau pegawai dapat bekerja dalam seminggu. Berbeda dengan di negara lain seperti Jepang, hal tersebut dijelaskan dalam peraturan mereka.
Said juga mengatakan rancangan peraturan itu hanya menyebut upah per jam dan tidak menyebutkan upah minimum per jam.
"Kalau di negara maju tadi upah minimum per jam maka kalau di atas upah minimum per jam itu baru negosiasi produktivitas misal di sektor otomotif berapa, sektor jurnalistik berapa, sektor pariwisata berapa, kan kita hanya bilang upah per jam dalam undang-undangnya," ujarnya.
Menurut KSPI, prinsip upah minimum adalah jaringan pengamanan agar buruh tidak miskin sebagaimana yang terkandung dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) dan UU No. 13 tahun 2003.
Dia mengatakan penerapan sistem upah per jam dapat membuat buruh menerima upah bulanan di bawah nilai upah minimum.