UU Anti-Hoaks Bikin Warga Singapura Makin Terkekang
jpnn.com, SINGAPURA - Parlemen Singapura mengetukkan palu untuk mengesahkan Undang-Undang Perlindungan terhadap Kebohongan dan Manipulasi Online Rabu malam (8/5). Setelah sidang maraton selam dua hari, 72 anggota parlemen menyetujui regulasi antihoaks tersebut. Tak lama setelah itu, protes dari perusahaan teknologi sampai organisasi pejuang HAM muncul.
Menteri Hukum Singapura Kasiviswanathan Shanmugam menegaskan bahwa aturan itu bukan alat politik. Mereka hanya mengincar oknum-oknum yang membuat dan menyebarkan kabar tanpa fakta yang dapat meresahkan masyarakat.
"Kebebasan berpendapat tak akan terpengaruh dengan undang-undang ini. Yang kami incar adalah kebohongan, internet trolls (orang yang suka ngompori, Red), atau akun palsu," tegas dia seperti dilansir Agence France-Presse.
Tentu sebagian besar publik internasional tak percaya dengan komentar Shanmugam. Sebab, dengan aturan tersebut, tangan pemerintah Singapura bisa sampai ke redaksi kantor berita dan manajemen konten perusahaan media sosial. Risiko penyalahgunaan wewenang untuk politik terbuka lebar.
"Mereka tak memberikan definisi jelas apa yang disebut kabar bohong atau menyesatkan. Artinya, mereka punya kekuatan untuk menindas pengkritik di online," ujar Nicholas Bequelin, direktur Amnesty International untuk wilayah Asia Timur dan Tenggara.
BACA JUGA: Bareskrim Tangkap Penyebar Hoaks Situng KPU
Perusahaan teknologi pun sependapat. Semua penyedia platform komunikasi pasti tak senang dapur mereka diobok-obok pemerintah Singapura. Raksasa IT Google sampai angkat bicara karena khawatir platform mereka bakal terganggu.
"Misinformasi memang tantangan yang berat. Tapi, kami tetap khawatir bahwa hukum ini bisa menghambat inovasi dan ekosistem informasi digital," ujar jubir Google.