Warga Uighur Hidup Ketakutan di Tengah Meningkatnya 'Pendidikan Ulang' di China
Tahun lalu, ketika Almas Nizamidin kembali ke Urumqi, ibukota Xinjiang di barat-laut China, dia bermaksud mencari istrinya yang diambil polisi berpakaian sipil tanpa tuduhan resmi.
Almas (27 tahun) adalah pekerja konstruksi di Adelaide dan menjadi warga negara Australia pada 2014 setelah meninggalkan China tahun 2009.
Dia terbang ke Urumqi setelah mendengar kabar tentang istrinya, namun menemukan kota tempatnya dibesarkan sudah tak dikenalinya lagi.
"Tampaknya seperti pendudukan," katanya, "Ada tank di jalan-jalan, dan tahanan polisi setiap 100 meter di mana petugas polisi memindai kartu identitas dan isi telepon mereka."
Ketika istrinya Buzainafu Abudourexiti dibawa polisi pada Maret 2017 - awalnya untuk "pendidikan ulang" tetapi kemudian dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara - dia berusia 25 tahun dan hamil dua bulan.
Almas mengatakan kejahatan yang dituduhkan pada istrinya katanya "ekstremisme agama", hanya karena dia pernah studi Islam di Timur Tengah.
Pasangan muda ini orang Uighur, etnis minoritas berbahasa Turki di Xinjiang, Wilayah Otonomi Uighur. Kebanyakan orang Uighur menganbut Islam yang jadi bagian penting budaya mereka, sama seperti budaya Asia Tengah lainnya.
Namun sekarang, menurut kelompok HAM dan pengamat, di bawah kampanye Beijing untuk "pendidikan kembali", budaya dan identitas Uighur terancam musnah.