Webinar Literasi Digital: Berbahasa yang Benar dan Beretika
”Sedangkan dianggap benar, jika merupakan campuran dari enam jenis bahasa digital tadi, menguasai literasi digital, santun, tidak melanggar hukum, dan memberi kebaikan,” sebut doktor kebijakan publik itu.
Riant berharap, selain berbahasa yang benar dan baik, pengguna digital hendaknya selalu memakai bahasa yang jauh dari kebencian, menghormati keberagaman (multikultur), dan selalu menggunakan bahasa yang tidak melanggar UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) agar tidak berurusan dengan tuntutan hukum.
Dari perspektif kecakapan digital, pegiat kewirausahaan sosial Yuni Mustani menyatakan bahasa adalah cermin diri yang muncul dari etalase beberapa media sosial yang digunakan seperti Facebook, Instagram, TikTok, Linkedin, maupun Twitter.
”Media sosial yang kita gunakan merupakan etalase representasi, refleksi, bahkan menunjukkan personalitas penggunanya,” tutur Yuni.
Menurutnya, sopan santun berbahasa yang disebut tata krama berbahasa atau etiket berbahasa, pada dasarnya merupakan sikap penutur kepada mitra tutur yang terwujud dalam penggunaan bahasanya.
”Sopan santun berbahasa juga menunjukkan sikap hormat penutur kepada mitra tutur yang diwujudkan dalam tuturan yang sopan,” tambahnya.
Inti dari berbahasa atau bertutur, lanjut Yuni, adalah respek pada diri sendiri, orang lain, perbedaan pendapat, nilai dan norma, multikulturalisme, dan pluralisme. Sedangkan prinsip dasarnya adalah think first, yakni mempertimbangkan situasi saat berinteraksi, dengan siapa berinteraksi, waktu interaksi, dan pertimbangan manfaat kebajikan.
”Prinsip dasar think first di ruang publik lainnya adalah gunakan bahasa yang baik dan sopan, perhatikan panjangnya pesan, gambar, emoticon, gunakan huruf besar (kapital) dengan tepat, sapaan yang tepat, memberi salam atau ucapan terima kasih, dan memakai pernyataan positif,” pungkas Yuni.