Ya Ampun, Pelindo II Bayar Bunga Utang Rp 1 T per Tahun
jpnn.com - jpnn.com - Panitia Khusus (Pansus) Angket Pelindo II DPR kembali melaporkan hasil kerja mereka. Dalam rapat paripurna penutupan masa sidang DPR pada Kamis (23/2) sore, Pansus pimpinan Rieke Diah Pitaloka itu membeber temuan baru.
Menurut Rieke, Pansus Pelindo menemukan fakta baru bahwa BUMN pengelola pelabuhan itu harus mengeluarkan dana hingga Rp 1 triliun guna membayar bunga surat utang global bond. Politikus PDI Perjuangan itu menuturkan, manajemen Pelindo II yang lama telah menerbitkan surat utang global senilai USD 1,58 miliar atau setara Rp 21 triliun dengan alasan untuk membiayai pembangunan Pelabuhan Kali Baru (NPCT 1), Pelabuhan Sorong, Kijing, Tanjung Carat dan Car Terminal.
Dari penyelidikan Pansus Pelindo, terungkap bahwa BUMN yang pernah dipimpin RJ Lino itu terikat kontrak dengan dengan PT Pembangunan Perumahan (PP) dalam pengerjaan proyek Kali Baru. Namun, pengelolaannya terindikasi bermasalah sehingga saat ini managemen baru Pelindo II melakukan renegosiasi.
"Proyek-proyek seperti Pelabuhan Sorong, Kijing dan Tanjung Carat belum bisa dilanjutkan akibat persoalan administrasi yang belum beres. Hal ini menjadi fakta bahwa global bond yang telah dilakukan tidak melalui perhitungan yang matang," ungkap Rieke.
Akibatnya, katanya, Pelindo II sekarang ini terbebani membayar bunga hutang di luar pokok hutang sebesar USD 73 juta atau setara Rp 1 triliun per tahun. Hanya saja, dana untuk pembayaran bunganya justru diambil dari laba Pelindo II berserta anak perusahannya.
Pembayaran bunga itu justru bukan dari dari hasil pengembangan dana surat utang. "Artinya, ada indikasi kerugian negara yang bisa dipastikan satu triliun per tahun," pungkasnya.
Temuan baru ini menambah panjang daftar dugaan kerugian negara di Pelindo II. Dalam rekomendasi pertama pansus tanggal 17 Desember 2015, ada indikasi kuat pelanggaran terhadap konstitusi dan perundang-undangan dalam proses perpanjangan kontrak pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) di Tanjungpriok yang diserahkan ke Hutchison Port Holdings (HPH).
Potensi kerugian negaranya mencapai Rp 36 triliun. Perpanjangan kontrak JICT dengan HPH juga sarat kejanggalan. Sebab, kontrak pengelolaan pertama yang harusnya habis pada 2019, sudah diperpanjang pada 2016.