Pemerintah Indonesia seringkali menyebut 1 Desember sebagai hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM), meski OPM sendiri sudah menyanggahnya.
Sejarah mencatat, tepat hari ini di tahun 1961, warga Papua mengibarkan bendera kejora diiringi lagu 'Hai Tanahku Papua' di kantor-kantor pemerintahan, mendesak Belanda agar mengakui kemerdekaan mereka.
BACA JUGA: PM Anthony Albanese Penuhi Janji Pemilu, Australia Akhirnya Membentuk Komisi Anti-Korupsi
Hingga kini bendera kejora masih dikibarkan setiap tanggal 1 Desember dan sudah hampir lima dekade para pejuang kemerdekaan Papua terus berupaya agar bisa menentukan nasibnya sendiri.
"Hari ini adalah hari yang sangat istimewa bagi kami dan di seluruh penjuru dunia. Kami dengan solidaritas di seluruh dunia mengibarkan bendera seperti yang dilakukan di tanah asal kami," ujar Benny Wenda, pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) kepada ABC Pacific.
BACA JUGA: Remaja Berdarah Indonesia Menang Lomba di Australia Setelah Menceritakan Tradisi Toraja
Benny mengatakan meski sejumlah tokoh senior pejuang kemerdekaan Papua telah meninggal "dibunuh atau diracun" tapi perjuangan rakyat Papua terus menunjukkan kemajuan.
"Kita bisa melihat kemajuannya, isu ini telah menjadi isu internasional, bukan lagi isu domestik. Jadi kami cukup percaya diri," kata Benny.
BACA JUGA: Polisi Bekerja, Pencopot Label Gereja di Tenda Bantuan Gempa Cianjur Siap-Siap Saja
Seruan boikot produk IndonesiaPada hari peringatan 1 Desember, gereja-gereja di kawasan Pasifik yang tergabung dalam Pacific Conference of Churches (PCC) meluncurkan seruan untuk melakukan boikot terhadap semua produk asal Indonesia dan program yang dijalankan oleh Indonesia.
Menurut mereka, seruan boikot ini akan dilakukan sampai pemerintah Indonesia memfasilitasi kunjungan United Nations High Commissioner for Human Rights (UNHCR) untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Sebelumnya dilaporkan jika pemerintah Indonesia menolak seruan penyelidikan PBB soal pelanggaran HAM tersebut, dengan mengatakan masalah tersebut sudah ditangani.
"Seruan boikot ini menanggapi kurangnya kemauan politik dari Pemerintah Indonesia untuk menghormati komitmen mereka atas kunjungan yang telah dilakukan 4 tahun lalu," ujar Rev. James Bhagwan, Sekretaris Jenderal PCC di Fiji.
“Pemimpin Gereja Pasifik sangat prihatin karena desakan dari negara-negara Pasifik melalui Forum Kepulauan Pasifik telah diabaikan. Kami juga khawatir Indonesia menggunakan cheque-book doplomacy untuk membungkam beberapa negara Pasifik soal ini."
Istilah 'checque-book diplomasi' merujuk pada kebijakan diplomatik lewat bantuan ekonomi atau investasi.
PCC mengatakan mereka tahu jika negara-negara Pasifik adalah pasar bagi produk-produk Indonesia, karenanya imbauan boikot ini akan menunjukkan jika warga di Pasifik menyatakan "rasa solidaritas dengan saudara dan saudari mereka di Tanah Papua."
Ada empat gereja di Papua yang menjadi anggota PCC, di antaranya Gereja Injil Indonesia, Gereja Kristen Injil di Tanah Papua, Gereja Kemah Injil, dan Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Dalam pernyataannya, mereka mengatakan masih akan terus meminta agar pemerintah Indonesia untuk segera membuka diri agar dapat bernegosiasi dengan ULMWP, seperti yang dilakukan dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Mereka juga menuntut agar operasi militer, termasuk pengiriman pasukan dan pembangunan infrastruktur militer di Papua diberhentikan.
April 2021 lalu, Dewan Gereja Papua mendesak PBB untuk menurunkan tim kemanusiaan ke Papua dengan tujuan untuk menyelidiki kondisi warga di Nduga yang telah mengungsi sejak Desember 2018, serta pengungsi di Intan Jaya yang sudah ada di sana sejak Oktober 2019.
Para pemimpin gereja di Papua menilai pemerintah Indonesia telah "gagal menangani krisis kemanusiaan yang sedang terjadi"
Benny Wenda mengatakan ia sangat menyayangkan pemerintah Indonesia yang "mengklaim sebagai negara demokrasi" tapi tidak membiarkan badan PBB UNHCR untuk melakukan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia.
"Rakyat Papua masih menangis meminta untuk keadilan dan kebebasan," ujarnya.
ABC telah mengontak KBRI di Suva, Republik Fiji yang juga mencakup kawasan Kiribati, Nauru, dan Tuvalu, untuk memberikan tanggapan soal seruan boikot ini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... 4 Nelayan Indonesia Didenda Ratusan Juta di Australia, Harus Dibayar dalam 28 Hari