jpnn.com - PERISTIWA 10 November 1945 di Surabaya, lebih tepat disebut balas dendam, ketimbang pertempuran.
Matahari belum lama muncul, ketika para serdadu Sekutu, yang notabene pemenang perang dunia kedua, yang secara teknik dan persenjataan lebih segala-galanya memulai "pesta pora".
BACA JUGA: Arek Suroboyo Memang Penyelundup Nomor Wahid (3/habis)
Dari udara, pesawat-pesawat bomber, menghujani kota Surabaya dengan bom. Dari laut, kapal-kapal Sekutu melesakkan meriam-meriam. Tak terhitung jumlah rumah yang hancur. Ribuan mayat bergelimpangan.
Menurut Soemarsono, Ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI)--kelompok yang mempelopori aksi merobek bendera Belanda di Hotel Oranje, jangankan menyerah, perangai Sekutu itu malah membuat semangat arek Suroboyo kian mendidih.
BACA JUGA: WOW! Penyiar Radio Pemberontakan Di Surabaya Diburu Belanda, Hadiahnya...(2)
"Berhari-hari mereka lakukan serangan tersebut dengan kejam dan tak ada pertimbangan perikemanusiaan sama sekali. Tujuan mereka supaya kita minta ampun, menyerah," tulis Soemarsono dalam buku Revolusi Agustus.
Tetapi, rakyat dan pemuda Surabaya sama sekali tidak ada pikiran menyerah dan minta ampun.
BACA JUGA: Radio Pemberontakan Arek Suroboyo dan Ritual Bikin Kebal (1)
"Jalanan dibanjir darah. Tapi rakyat Indonesia tidak terpikir untuk menyerah," tulis K'Tut Tantri, staf Bung Tomo di Radio Pemberontakan, dalam buku Revolt In Paradise.
Setelah memeriksa sejumlah literatur sejarah, peristiwa 10 November 1945 adalah aksi balas dendam Sekutu terhadap rakyat Surabaya, setelah dikalahkan pada pertempuran 28-30 Oktober 1945. (wow/jpnn)
(baca: Arek Suroboyo Memukul Juara Dunia Hingga Terpojok Di Sudut Ring)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MERDEKA ATAU MATI...Arek Suroboyo Berlawan (2/habis)
Redaktur : Tim Redaksi