AKADEMI Angkatan Laut (AAL) untuk pertama kalinya menerima taruni. Jumlah angkatan pertama ini hanya sepuluh orang. Tentu, mereka minoritas dalam dunia militer yang didominasi pria. Untuk menjaga sisi feminin mereka, dua anggota Korps Wanita TNI-AL (Kowal) dipilih menjadi pengasuh.
-----------
Laporan Ferlynda, Surabaya
-----------
EMPAT taruni dengan baju cokelat dan celana pendek berbaris di depan gedung asrama. Satu lagi masuk ke dalam untuk melapor. Siang itu mereka pulang dari yanus (olahraga sesuai kecabangan). Para taruni tersebut baru saja berenang. Muka mereka menampakkan kelelahan.
Taruni yang melapor itu keluar dan mengatakan kepada empat rekannya bahwa sudah mendapat izin masuk asrama. Berlima, mereka lalu menuju kamar untuk membersihkan diri.
BACA JUGA: Kisah Sukses Pengusaha Tiwul: Yosea Suryo Widodo
Tak lama berselang, lima taruni yang lain datang. Mereka melakukan hal yang sama sebelum masuk asrama. Keluar masuk asrama memang tidak bisa semaunya. Harus ada izin dari pengasuh.
’’Ayo taruni bergegas,’’ kata seorang pengasuh. Mereka yang selesai mandi segera memakai seragam cokelat. Baret cokelat tua diselipkan di pundak. Para perempuan muda itu tampak sudah rapi, bersih, dan wangi.
BACA JUGA: Lulusan SD jadi Juragan Antena, Kini Punya 13 Rumah
Sepuluh taruni segera berjajar. Dua pengasuh datang. Mereka memeriksa baju dan kelengkapan taruni. Dirapikan kerah baju, dicek ikat pinggang. Dua orang inilah Kowal yang menjadi pengasuh taruni. Yakni, Lettu Laut (S/W) Boedi Setianingsih dan Letda Laut (P/W) Ni Luh Made DK.
’’Perhatikan sepatu,’’ ujar Boedi menunjuk sepatu salah seorang taruni yang kemudian dengan sigap langsung membersihkan sepatunya yang akan kotor itu.
BACA JUGA: Priscilla Sitienei, Nenek Usia 90 Tahun jadi Murid SD
Setelah berkegiatan, taruni berkumpul di ruang belajar besar. Mereka mendiskusikan materi yang didapatkan hari itu. Boedi dan Made ikut mendampingi mereka sebelum kemudian waktu tidur tiba.
Begitulah yang terjadi sehari-hari. Sepuluh taruni tersebut terbilang perempuan-perempuan hebat. Mereka lolos masuk AAL setelah menyelesaikan setahun pendidikan dasar kemiliteran di Akademi Militer Magelang.
Empat bulan sudah mereka berada di AAL. Lama program pendidikan tiga tahun. Setelah lulus, mereka akan menjadi sepuluh perempuan pertama alumnus AAL.
Latihan kemiliteran yang begitu mendominasi dikhawatirkan bisa membuat mereka kehilangan feminitas. Untuk itulah, Boedi dan Made dihadirkan mendampingi mereka.
Dua Kowal itu diminta membuat sepuluh taruni tersebut tetap bersikap seperti perempuan, namun tak kehilangan ketangkasan di bidang kemiliteran. ’’Sebelum ditugaskan menjadi pengasuh taruni, kami juga belajar dulu,’’ ujar Boedi.
Untuk bisa menjadi pengasuh anggota Kowal, mereka harus tahu tata krama dan aturan di AAL untuk disampaikan kepada taruni yang diasuh. Para pengasuh juga melakukan studi banding ke Akademi Kepolisian (Akpol).
Polisi memang mempunyai taruni sejak beberapa tahun lalu. Selain studi banding di dalam negeri, mereka pergi ke Amerika, Inggris, Belanda, dan Jepang. Ketika penjemputan taruni di Magelang, para pengasuh tersebut juga ikut. ’’Taruni ini kan kopralnya di Magelang,’’ tutur Boedi.
Memang sengaja dibuat demikian agar para pengasuh dekat dengan calon anak asuhnya. Selanjutnya, para pengasuh tersebut mendampingi para taruni selama di asrama. ’’Selama di asrama, kami mendampingi mereka. Mengarahkan cara berdandan, cara bersosialisasi. Pokoknya yang berkaitan dengan etika sebagai perempuan,’’ sambung Ni Luh Made.
Made menegaskan bagaimana kerapian harus tetap dijaga selama berada di asrama. ’’Kami rutin memeriksa kerapian mereka bukan hanya dari luar, kerapian pakaian di lemari juga demikian,’’ tuturnya.
Boedi dan Made juga memberikan pengalaman dunia militer yang selama ini mereka dapat kepada taruni. ’’Kami sering melakukan sharing bagaimana keadaan mereka, maunya seperti apa,’’ ucap Made.
Karena jadwal taruni yang padat, mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk bercengkerama. ’’Paling saat makan atau berkegiatan di asrama setelah mereka belajar,’’ kata Boedi.
Untuk itu, di luar jadwal sehari-hari, mereka mempunyai jadwal pengasuhan khusus. Yaitu, Sabtu pukul 06.30 hingga pukul 10.00. ’’Waktu pengasuhan khusus tersebut digunakan untuk bersantai dan ngobrol,’’ ungkap Boedi.
Biasanya, bercengkerama bisa dilakukan setelah taruni melakukan lari pagi. Lebih akrab sembari makan bakso. Di AAL, para taruni bersama taruna belajar selama tiga tahun. Dalam waktu tiga tahun tersebut, para taruni AAL diberi bekal pengetahuan, profesi, dan akademik.
Titik beratnya aspek kecerdasan dengan fokus pada metode pengajaran untuk mendapatkan kualifikasi korps. Yaitu, pelaut, elektronika, dan supply. Para taruni itu akan mendapatkan korps sesuai aspek kecerdasannya.
Pengasuhan yang dilakukan Boedi dan Made tidak hanya dilakukan di darat. Para taruni yang harus melakukan pelayaran untuk naik tingkat juga mereka dampingi. ’’Kami ikut berlayar bersama mereka,’’ ungkap Made.
Di dalam kapal, Boedi dan Made memberikan pengasuhan mengenai cara bersosialisasi. ’’Tidak seperti pria, mereka harus tahu diri kalau keluar kamar harus berpakaian seperti apa. Makan juga harus di tempat makan,’’ tutur Boedi yang mendampingi pada pelayaran Prajalasela ke Lombok dan Jalasesa ke Makassar.
Hal itu bertujuan untuk mempersiapkan mereka pada pelayaran yang lebih besar. ’’Mereka untuk naik ke tingkat tiga nanti harus berlayar lagi. Rencananya mereka berlayar ke Italia,’’ imbuh Made.
Sebagai bagian dari Kowal, taruni mempunyai amanat untuk mengabdi secara profesional dan membanggakan. Sebab, Kowal sudah mempunyai catatan baik. Dalam sejarahnya, pada Februari 2008, Kowal dipercaya bergabung dengan pasukan multinasional di berbagai negara yang sedang dilanda konflik. Yakni, pasukan UNIFIL di Lebanon dan pasukan MONUC di Kongo.
Kemudian, pada 2009, anggota Kowal turut berpartisipasi, baik sebagai petugas upacara maupun peserta, dalam Sail Bunaken yang tercatat dalam Guinness World of Record sebagai pemecahan rekor dunia selam masal.
Lalu, pada 2013, anggota Kowal kembali menorehkan prestasi pada bidang olahraga dengan berpartisipasi dalam Kejuaraan Terjun Payung Olimpiade Militer Dunia ke-5 di Rio de Janeiro, Brasil. Juga, pada Kejuaraan Taekwondo Olimpiade Militer (CSIM) di Vietnam.
Meski terlihat gagah di lapangan, taruni tersebut mempunyai bekal untuk menjadi perempuan. Selain memegang senjata, mereka fasih mengoleskan make-up di wajahnya. Nanti, meski sering berada di kapal perang, sisi perempuan mereka tetap tertanamkan. (*/c17/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Andrea Paresthu, Arsitek dan Pengusaha Kopi yang Juga Koki
Redaktur : Tim Redaksi