Kisah Sukses Pengusaha Tiwul: Yosea Suryo Widodo

Sehari Produksi 1,2 Ton, Pemesan dari Malaysia hingga Hongkong

Minggu, 25 Januari 2015 – 20:50 WIB
Yosea Suryo Widodo (kiri) ketika mendapat penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Foto: Radar Malang/JPNN

jpnn.com - MAKANAN tiwul (berbahan ubi kayu) masih dianggap sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat. Namun, di tangan Yosea Suryo Widodo, tiwul menjadi makanan dengan nilai ekonomi tinggi. Bahkan, hingga laku keras di luar negeri.

 

BACA JUGA: Lulusan SD jadi Juragan Antena, Kini Punya 13 Rumah

M. BAHRUL MARZUKI

 

BACA JUGA: Priscilla Sitienei, Nenek Usia 90 Tahun jadi Murid SD

Ditemui di rumahnya Kamis (22/1) lalu, Yosea Suryo Widodo berpenampilan santai. Dia hanya mengenakan kaus putih berkerah biasa dan celana pendek berwarna abu-abu.

Rumahnya yang berada di kawasan Perumahan Puri Cempaka Putih tampak tidak jauh berbeda dengan rumah lainnya. Rumah yang dia tinggali bergaya sederhana dan modern. Tidak terlalu besar memang, namun masih banyak ruang yang terlihat kosong.

BACA JUGA: Andrea Paresthu, Arsitek dan Pengusaha Kopi yang Juga Koki

Di dalam rumahnya tersebut, warna cat yang dipilih cukup cerah. Warna cat tembok putih dipadu dengan warna ungu membuat suasana rumah terasa semarak. Apalagi corak warna ungu tersebut sekilas mirip dengan ukiran batik.

Ditemani anaknya, Gathanail Surya Adianta, Yosea begitu semangat menceritakan kesuksesan usaha tiwul dan gatotnya. Dia pun menunjukkan laptop yang berisi foto-foto saat dirinya menerima penghargaan dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono serta sejumlah piagam.

Dia menjelaskan, tahun 2012 lalu, dirinya diundang ke istana negara untuk mendapatkan piagam penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara. Piagam tersebut dia dapatkan pada Desember tahun 2012 lalu.

Yosea mendapatkan piagam ini dari Kementerian Pertanian karena usaha yang dia tekuni dianggap dapat memelopori, meningkatkan, dan memberikan keteladanan untuk mewujudkan ketahanan pangan. Bidang usahanya produksi tiwul dan gatot melalui UD Riang yang dia pimpin.

UD Riang merupakan usaha pengolahan hasil komoditas pertanian ubi. Bukan hanya tiwul dan gatot biasa saja yang dia produksi. Sebab, tiwul dan gatot tersebut memang sangat berbeda dengan yang ada di pasaran.

Tiwul dan gatot yang dibuat oleh Yosea ini mampu tahan hingga satu tahun. Tidak langsung basi seperti tiwul dan gatot umumnya.

Yosea menjelaskan, penghargaan berhasil didapatnya setelah melewati tahapan seleksi mulai dari tingkat kabupaten. Yang menyeleksi adalah Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Malang.

”Di tingkat kabupaten, UKM saya yang mewakili. Setelah itu ada tim penilai independen dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Tim penilai ini juga mengatakan oke, sehingga bisa dapat penghargaan tingkat nasional,” ungkapnya.

Saat itu Yosea masih mengingat ada juga beberapa pengusaha yang dapat penghargaan dari presiden. Namun, yang paling banyak adalah tokoh kepala desa dalam penghargaan ketahanan pangan ini.

”Ada sekitar 35 orang yang dapat penghargaan waktu itu,” ungkapnya.

Pihak kementerian memberikan penghargaan pada UKM milik Yosea karena usahanya dianggap unik. Sebab, mampu membuat makanan tiwul dan gatot bisa tahan lama hingga setahun.

”Untuk program ketahanan pangan, sumber makanan utama yang dipilih nonberas memang,” paparnya.

Dia mengatakan, usaha yang ditekuni saat ini adalah warisan dari orang tuanya. UD Riang berdiri pada tahun 1998. Setelah dua tahun berdiri, barulah usaha diteruskannya sendiri.

”Karena saat itu pesanan sudah semakin banyak. Orang tua saya agak kewalahan melihat permintaan pasar, akhirnya saya yang disuruh meneruskan,” ungkap pria kelahiran 1979 tersebut.

UD Riang sendiri berdiri di Desa Tlogorejo, Kecamatan Pagak. Hingga saat ini, tempat produksinya masih tetap di sana. Sedangkan untuk pemasarannya, berpindah ke rumah Yosea saat ini.

Yosea memaparkan, awal memproduksi tiwul dan gatot yang bisa tahan lama adalah karena coba-coba saja. Saat itu orang tuanya menjemur tiwul dan gatot yang sudah siap konsumsi hingga kering. Namun, ketika tiwul dan gatot kering kembali dikukus, rupanya bisa langsung mengembang lagi dan siap untuk dikonsumsi.

”Waktu tahu ternyata tiwul bisa tahan lama, kami coba jual ke pasar yang jadi tempat oleh-oleh di Malang. Lama-kelamaan pemasarannya merata di Malang Raya. Karena dibeli sama orang luar kota buat oleh-oleh,” jelasnya.

Dari awal uji pasar yang berhasil tersebut, kemudian membuat permintaan tiwul dan gatot miliknya semakin banyak. Bahkan, hingga saat ini masih dianggap belum memenuhi permintaan pasar. Karena untuk ubi yang jadi bahan utama, stoknya memang terbatas mengikuti musim yang ada.

Dan yang membuat Yosea heran adalah konsumen dari tiwul dan gatot miliknya merupakan masyarakat menengah ke atas. Padahal, tiwul dan gatot umumnya hanya dikonsumsi oleh masyarakat kelas ekonomi biasa di pedesaan.

”Kalau dijual ke desa, malah tidak laku. Karena bagi orang desa, makanan tiwul sudah biasa. Bisa dibuat sendiri juga,” ungkapnya.

Dalam satu hari, dia mengaku bisa memproduksi 1,2 ton tiwul dan gatot. Masing-masing tersimpan dalam kemasan ukuran 400 gram. Dengan omzet usaha yang bisa mencapai Rp 40 juta per bulannya.

Selain dalam negeri, ternyata tiwul UD Riang juga sampai luar negeri. Dalam setiap bulannya, pemesanan untuk luar negeri bisa mencapai 1.500 pak. Sebanyak 1.000 pak dikirim ke Hongkong, sementara 500 pak dikirim ke Malaysia. (*/c1/abm)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Suasana Haru Saat Jenderal Sutarman Melepas Jabatannya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler