jpnn.com, BALIKPAPAN - Pemerintah sudah memutuskan menurunkan tarif batas atas (TBA) tarif tiket pesawat untuk kelas full service sebesar 12-16 persen.
Namun, para pelaku usaha tidak menganggap keputusan pemerintah itu berdampak signifikan.
BACA JUGA: Tarif Tiket Pesawat Masih Mahal, ini Kata Pengamat Penerbangan
Pasalnya, penurunan tersebut tidak berpengaruh pada perekonomian daerah lantaran jauh lebih kecil dibandingkan kenaikan pada akhir 2018 yang mencapai 50 persen.
BACA JUGA: Tarif Tiket Pesawat Masih Mahal, ini Kata Pengamat Penerbangan
BACA JUGA: Sejumlah Fakta Miris Akibat Harga Tiket Pesawat Mahal
Direktur PT Trans Borneo Adventure Joko Purwanto mengatakan, upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan berpengaruh.
Sebab, maskapai masih terkesan enggan menurunkan harga. Ini terlihat dari respons pemerintah menurunkan harga avtur beberapa waktu lalu. Nyatanya upaya itu tidak diikuti turunnya harga tiket.
BACA JUGA: Mulai Hari Ini Tarif Tiket Pesawat Turun 12-16 Persen
“Jika memang alasannya avtur, kenapa tiket (rute) Jakarta-Bangkok dengan durasi penerbangan 3,5 jam dijual antara Rp 800 ribu sampai Rp 1 juta? Sebaliknya Jakarta-Balikpapan yang hanya satu jam 50 menit dijual sekiar Rp 1,6 juta. Jadi (penurunan harga tiket) ini tidak akan berpengaruh,” tuturnya, Rabu (15/5).
Menurutnya, ada dua cara yang efektif untuk menurunkan harga tiket. Pertama, mempertemukan Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Kementerian Perhubungan.
Sebab, penurunan tiket domainnya bukan hanya di Kementerian Perhubungan, melainkan juga Kementerian Keuangan.
Mengapa demikian? Pasalnya, rata-rata perjalanan dinas pegawai negeri di tanah air dan karyawan BUMN masih menggunakan sistem at cost.
Artinya uang yang dikeluarkan selama perjalanan, termasuk uang tiket, akan diganti negara atau perusahaan.
Kondisi itu memengaruhi perilaku pembelian tiket. Biasanya para pegawai memilih menggunakan maskapai Garuda Indonesia.
Sebab, berapa pun tiket yang dijual bisa dibeli dan diganti uangnya. Karena itu, meski tiket mahal, pesawat Garuda tetap penuh.
“Supaya bisa bersaing, seharusnya sistem ad cost itu diubah menjadi sistem paket,” tegasnya.
Dengan sistem paket, dia meyakini para pegawai yang bepergian bakal berhitung.
Misalnya, hanya mendapat dana perjalanan dinas untuk tiga hari sebesar Rp 5 juta.
Pasti orang tersebut akan mencari tiket termurah supaya uang yang dikelola selama kegiatan lebih banyak.
“Kalau orang mencari tiket termurah, tentu Garuda akan turun supaya bisa bersaing,” tambahnya.
Alternatif kedua, masyarakat yang tidak urgen melakukan perjalanan harus berani memutuskan untuk menundanya.
Sama-sama bertahan. Maskapai yang menang dengan mempertahankan harga tinggi atau masyarakat.
“Kalau bertahan dengan kondisi tiket mahal, otomatis penumpang berkurang. Ini berisiko pesawat dikandangkan atau terbang dengan kondisi kosong. Sampai kapan mereka (maskapai) bertahan?” ujarnya. (ndu2/k15)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Nayak Ambrosius, Korban Harga Tiket Pesawat Mahal
Redaktur : Tim Redaksi