jpnn.com, JAKARTA - Harga tiket pesawat mahal sejak awal 2019, sampai menjadi tak kunjung ada penyelesaian. Dampaknya, rakyat menjadi korban.
Nayak Ambrosius Mulait harus membayar uang semesternya karena gagal untuk melakukan ujian tesis. Ujian ini gagal bukan karena dia malas, namun karena tiket pesawat yang tak dapat dijangkaunya.
BACA JUGA: Tarif Batas Atas Tiket Pesawat 12-16 Persen
Kemarin (12/5) dia harusnya sampai Jayapura untuk bertemu dengan Ketua KPU Provinsi Papua dan Gubernur Papua guna keperluan tesisnya.
Namun rencana itu harus dia tunda karena tidak mampu membayar tiket pesawat. ”Saya lihat Batik Air Rp 4 jutaan dan Lion Air Rp 3,9 juta,” tuturnya saat dihubungi Jawa Pos.
BACA JUGA: Harga Tiket Pesawat Masih Mahal, Yakin Jumlah Penumpang Naik
Ini bukan kesialan pertamanya. Natal tahun lalu dia juga terpaksa tidak pulang ke Wamena, kampung halamannya. Ibunya yang seorang pedagang hasil kebun hanya mengirimi uang Rp 4 juta untuk pulang.
BACA JUGA: Rekapitulasi Suara Manual Jokowi - Ma'ruf 64,32%, Bandingkan dengan Situng KPU
BACA JUGA: Soal Kenaikan Tarif Tiket Pesawat, Ini Respons DPP Organda
Sedangkan harga pesawat sudah Rp 12 juta untuk sampai ke Jayapura. Agar sampai ke Wamena, dia harus merogoh kocek lagi Rp 2 juta.
”Saya disuruh naik kapal saja. Namun Jakarta-Jayapura itu satu minggu perjalanan, lama,” kata pria 24 tahun itu.
Menurutnya tiket pesawat mahal ini tak hanya mempengaruhi mobilitas warga. Namun juga harga barang di Papua. Dia menceritakan, pekan lalu Ambrosius telepon dengan temannya di Lanijaya.
Temannya ingin mendirikan kios namun terhambat harga semen. ”Kata teman saya harga semen sampai Rp 6 juta,” bebernya.
Dia bukan satu-satunya yang merasakan dampak. Akhirnya masyarakat mendesak agar ada perhatian dari pemerintah. Di media sosial, Menteri Perhubungan diminta untuk tanggungjawab. Namun hal ini disayangkan pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo.
”Kemenhub jangan intervensi harga tiket penerbangan, kecuali peraturan perundang-undangannya mulai dari UU Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan turunannya direvisi. Jika Menhub mengikuti keinginan publik untuk mengatur harga tiket penerbangan, maskapai berhak menuntut Menhub karena menyalahi peraturan penerbangan yang berlaku,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos.
Menurut Agus, Kemenhub harusnya fokus pada kesleamatan transportasi. Apalagi mengingat angka kecelakaan masih tinggi. Tugas lain Kemenhub adalah mengatur Tarif Batas Atas (TBA) dan tarif batas bawahuntuk menjaga supaya terjadi persaingan sehat antar-maskapai penerbangan.
Dia menjelaskan, seharusnya melejitnya harga tiket juga menjadi tanggung jawab Menteri BUMN dan Menteri ESDM. Kebijakan tarif tiket maskapai untuk maskapai Garuda Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian BUMN.
Kementerian ini sebagai wakil pemerintah yang merupakan pemegang saham korporasi terbesar. ”Direksi Garuda Indonesia harus patuh kepada kebijakan Menteri BUMN jika terkait usaha, bukan Kemenhub,” ucapnya.
Menurutnya harga tiket Garuda Indonesia memang menjadi patokan maskapai penerbangan lain termasuk yang LCC. ”Jadi kalau harga tiket Garuda naik semua ikut naik. GA pemimpin pasar bagi maskapai domestik lainnya,” ujarnya.
Langkah lainnya, Menteri ESDM harus menghapus Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk avtur. Badan Pengelola Hilir (BPH) Migas mematok pajak 0,3 persen perliter avtur. ”Avtur di Jakarta sebenarnya sudah murah jika dibandingkan dengan di Singapura,” kata Agus.
BACA JUGA: Pentolan Honorer K2: Lebih Enak jadi PPPK
Pemerintah sebenarnya telah mengumumkan akan menurunkan TBA hingga 15 persen. Namun menurutnya ini tidak berpengaruh. Di sisi lain, jika maskapai dipaksa untuk menurunkan harga tiket, akan merugikan secara bisnis.
Apalagi, menurut Agus, saat ini sudah memasuki peak season. ”Musim ini maskapai mencari profit untuk menutupi kerugian pada tahun berjalan,” bebernya. (lyn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiket Pesawat Mahal, Omzet Agen Perjalanan Anjlok 50 Persen
Redaktur & Reporter : Soetomo