Aturan ini Dianggap Langgar HAM, 2 Komisioner KPU Ajukan Judicial Review ke MK

Rabu, 23 Juni 2021 – 16:38 WIB
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman saat memberikan surat pengangkatan kembali Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota KPU. Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Dua komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), terhadap salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu.

Dua komisioner dimaksud masing-masing Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik.

BACA JUGA: Penyelenggara TWK KPK itu BKN, Komnas HAM Kenapa Malah Memanggil BIN ya?

Mereka mengajukan judicial review terkait pasal yang mengatur putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersifat final dan mengikat.

Arief mengatakan permohonan tersebut telah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor tanda terima Mahkamah Konstitusi Nomor 2091/PAN.MK/VI/2021.

BACA JUGA: Komite Referendum Jokowi 3 Periode Dideklarasikan, Jhon Singgung soal Konstitusi

"Pada pokoknya permohonan pengujian undang undang ini terkait ketentuan Pasal 458 ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat," ujar Arief.

Dalam permohonannya mereka juga meminta MK untuk memberikan tafsir atas frasa 'putusan' DKPP dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sebagai sebuah keputusan.

BACA JUGA: Pernyataan Penting dari Peneliti Soal Obat Herbal untuk Lawan COVID-19

Menurut Arief, norma dalam pasal yang menjadi objek permohonan, merugikan hak konstitusional para pemohon.

Selain itu, juga dinilai telah merenggut hak asasi manusia para pemohon yang dilindungi oleh konstitusi.

Harkat dan martabat serta hak asasi para pemohon menjadi tercederai karena pelaksanaan pasal tersebut oleh DKPP.

Pasal tersebut diketahui masih menjadi dalil bagi DKPP untuk tidak mengakui Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU yang sah.

Evi sebelumnya diberhentikan oleh DKPP, namun kemudian putusan PTUN Jakarta membatalkan Keppres yang mengatur tindak lanjut dari putusan DKPP dimaksud.

Presiden diketahui tidak melakukan banding terhadap putusan PTUN Jakarta, sehingga putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, identitas sebagai penjahat etika seolah-olah selalu dilekatkan kepada Evi Novida yang dalam beberapa pernyataan publik disampaikan oleh Ketua DKPP, meski fakta persidangan sama sekali tidak mendukung hal itu.

Selain Evi, Arief juga mengalami nasib yang sama.

Dia merasa mengalami kerugian konstitusional terhadap putusan DKPP, karena dinyatakan melanggar etika karena mendampingi Evi Novida Ginting di PTUN Jakarta, beberapa waktu lalu.

Arief mengklaim tindakannya mendampingi Evi merupakan perwujudan dalam semangat kolektif kolegial, untuk memastikan anggotanya mendapatkan hak atas pengadilan yang adil.

Alasan lain, Arief mendampingi Evi merupakan duty of care atau semacam kewajiban peduli terhadap sesama kolega atau anggota dari sebuah kelembagaan dan kewajiban seorang pimpinan.

Ketika itu Arief menjabat sebagai Ketua KPU di mana kemudian dicopot oleh DKPP.

Untuk diketahui, pengujian atas norma putusan DKPP yang final dan mengikat itu sudah pernah dilakukan sebelumnya, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU?XI/2013 pada 3 April 2014.

MK menyatakan dalam putusan a quo bahwa sifat final dan mengikat atas putusan DKPP tidak sama dengan lembaga peradilan, tetapi harus dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota dan bawaslu.

Para pemohon dalam petitumnya juga memohonkan agar frasa 'putusan' DKPP dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sebagai sebuah keputusan, oleh karena DKPP adalah organ tata usaha negara sebagaimana putusan MKRI Nomor 115/PHPU.D?XII/2013.(Antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler