2030, Pulau Sadau Tenggelam

Jumat, 14 Oktober 2011 – 09:09 WIB

TARAKAN – Hasil kajian dan prioritisasi adaptasi perubahan iklim oleh tim saintifik Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sriwijaya Palembang, Universitas Padjajaran Bandung, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), GIZ dan USAID mengkalkulasikan bahwa pada tahun 2030 atau 20 tahun lagi ketinggian muka air laut perairan Kota Tarakan akan naik hingga 15 sentimeter atau 0,7 sentimeter per tahunTahun itu juga diprediksi Pulau Sadau tenggelam pada saat pasang tinggi terjadi dan gelombang ekstrem serta La Nina terjadi.

“Ini merupakan dampak nyata dari perubahan iklim yang terjadi secara global di Tarakan

BACA JUGA: Dilarang ke Malaysia, Dagang Lewat Jalan Tikus

Dampaknya bukan itu saja, kejadian La Nina dan gelombang ekstrem pun bertambah kan,” ucap Koordinator Tim Saintifik Adaptasi Perubahan Iklim, Djoko Santoso Abi Suroso, dari ITB.

Terkait kenaikan muka air laut, efek negatifnya bagi kondisi daratan Pulau Tarakan adalah tergenangnya kawasan pesisir pantai di wilayah pantai barat Pulau Tarakan, dan makin parahnya tingkat abrasi di wilayah pantai timur Pulau Tarakan
Hal ini harus menjadi prioritas pembangunan Kota Tarakan untuk segera diantisipasi

BACA JUGA: Terdakwa Korupsi Makan Siang Bareng Jaksa

Bisa jadi programnya, tidak khusus disebut adaptasi tapi cukup program yang sudah ada
Semisal, penggalakan penanaman mangrove

BACA JUGA: Camat Bakar Tempat Prostitusi



“Langkah antisipasi penting lainnya, persoalan pemukiman padat di wilayah barat Pulau TarakanDan kalau dilihat, masyarakatnya pun telah menyadari dampak itu, sekarang saja pemukiman mereka sudah pada dinaikkan (rumah panggung),” jelasnya.

Untuk wilayah timur, Djoko dan timnya menyarankan sejumlah metode penanganan dampak yang jauh lebih murah dan ramah lingkungan“Kalau yang timur kan, seperti kita lihat saat ini dibuat beton penahan abrasiItu bagus tapi mahal, kasihan anggaran Tarakan banyak tersedot ke situRekomendasi kita, antisipasinya bisa dengan mengenali lebih dulu karakteristik arus dan ombak secara spesifik, digabungkan dengan pengelolaan vegetasi habitat asli yang sudah ada seperti cemara pantai,” urainya

“Langkahnya, mengembalikan vegetasi aslinya, diikuti dengan penempatan break waterItu kombinasi yang lebih murah,” tambahnya.

Rekomendasi tersebut juga berdasarkan adanya sejumlah skenario kejadian alam yang diakibatkan perubahan iklimSkenario pertama, dengan memperhitungkan perkiraan naiknya muka air laut hingga 15 sentimeter pada tahun 2030Skenario kedua, yakni skenario pertama ditambah dengan prediksi kejadian La Nina dan gelombang ekstrem yang akan bertambahDan, skenario terakhir yakni skenario pertama dan kedua ditambah perhitungan terjadinya pasang tertinggi

“Kalau bicara konsep didalam adaptasi perubahan iklim-kenaikan muka air laut, maka memang harus dibangun seawall tapi itu mahalLalu, akomodasi atau menyesuaikan pembangunan fisik yang ada diatas daratan dimaksudKonsep ketiga, relokasi,” tandasnya.

Relokasi, menurutnya adalah langkah terakhir dan sangat tidak mudah dilakukanPersoalannya adalah budaya dan butuh anggaran besar untuk merealisasikannya.(ndy/iza)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pascagempa, Waspadai Pipa Gas Bocor


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler