24 Tahun Reformasi, Hemi: Ada Gelagat Membungkam Kebebasan Berpendapat

Selasa, 24 Mei 2022 – 11:18 WIB
Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Hemi Lavour Febrinandez. Foto: Dokumentasi pribadi for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Hemi Lavour Febrinandez menilai demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran khususnya dalam hal kebebasan berekspresi dan berpendapat meskipun reformasi telah berjalan selama 24 tahun.

Menurut Hemi, upaya memberangus hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat tidak hanya terjadi di ruang fisik, tetapi juga merambah hingga ke ruang digital.

BACA JUGA: Senator Filep: Demokrasi di Tanah Papua Masih Lemah

“Gelagat melakukan represi kebebasan berpendapat masyarakat sudah terlihat sejak tahun 2019, ketika terjadi beberapa tindakan represif kepada kelompok yang menolak revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja. Beberapa kelompok masyarakat menjadi korban tindak kekerasan ketika berdemonstrasi,” ungkap Hemi di Jakarta, Selasa (24/5).

Lebih lanjut, Hemi menjelaskan serangan siber seperti spam-call hingga peretasan menjadi salah satu momok yang harus dihadapi oleh kelompok masyarakat sipil yang menyampaikan kritiknya terhadap berbagai kebijakan pemerintah.

BACA JUGA: Larang Menteri Bicara Perpanjangan, Jokowi Terbukti Cinta Demokrasi Meski Dikepung Oligarki

Pada tahun 2020, KontraS menerima 1.500 pengaduan kekerasan yang dilakukan oleh aparat selama aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.

Selain kekerasan pada saat demonstrasi, serangan siber juga menjadi salah satu ancaman serius bagi kebebasan berekspresi di ruang digital.

BACA JUGA: SETARA Nilai Kritik BEM UI kepada Jokowi Bagian dari Kebebasan Berpendapat

Menilik data Komnas HAM, kata Hemi, terdapat sembilan kasus serangan siber yang ditangani pada tahun 2020. Kemudian meningkat menjadi dua belas kasus pada tahun 2021.

Bentuk serangan siber yang paling sering digunakan yaitu peretasan, spam-call, dan doxing.

“Tren berulang seperti ini sebenarnya menjadi pertanda buruk bagi demokrasi dalam konteks perlindungan terhadap hak untuk berpendapat, cita kemerdekaan dan reformasi yang mencoba untuk membuat Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis hanya sekadar menjadi slogan kosong,” ujar Hemi.

Pada periode awal pascareformasi tahun 1998 terdapat beragam agenda besar demokratisasi dalam pelbagai sektor kehidupan bernegara, seperti hukum, ekonomi, dan politik.

“Harapan awalnya agar reformasi mampu menjadi pengubah wajah negara yang otoriter pada masa Orde Baru agar mampu menjadi lebih demokratis,” ungkap Hemi.

Hemi menyayangkan semangat baik reformasi yang dibangun untuk melahirkan negara yang memenuhi setiap hak warga negaranya malah tercoreng oleh tindakan buruk dari segelintir orang.

Seharusnya setelah 24 tahun pascareformasi, komitmen negara atas demokrasi akan menjadi makin kuat. Namun, pada kenyataannya hal tersebut hanya sekadar harapan semata.

“Jangan sampai ucapan komitmen atas demokrasi hanya menjadi pemanis mulut untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat. Hal tersebut harus dibuktikan melalui tindakan nyata, seperti menghadirkan produk hukum yang benar-benar dibutuhkan dan tanpa mencederai hak-hak masyarakat,” pungkas Hemi.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler