26 Tahun Berlalu, Perkara Kudatuli Bolak-Balik Polisi dan Kejaksaan

Sabtu, 13 Agustus 2022 – 13:14 WIB
Koordinator TPDI Petrus Selestinus bersama Ketua Setara Institute Hendardi dan wartawan senior Tri Agung dan serta Kristin Samah sebagai moderator saat diskusi memperingati 26 tahun peristiwa Kudatuli bertajuk, “26 Tahun Reformasi dan Demokrasi Tergadaikan" di Jakarta, Kamis (11/8). Foto: Fiederich Batari/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDIP mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan terkait kasus kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli.

Pasalnya, sudah 26 tahun berlalu, belum ada satu pun pihak-pihak yang bersalah diajukan ke pengadilan.

BACA JUGA: Kudatuli, Rumah Puan Maharani Penuh Pengungsi, Keluar saja Susah

Koordinator TPDI Petrus Selestinus menilai selama puluhan tahun kasus Kudatuli mengendap, meski pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka.

Perkara pidananya, kata dia mandek di kejaksaan dan bolak-balik antara kejaksaan dan kepolisian.

BACA JUGA: Mengenang Tragedi Kudatuli, Puan Mendapat Tugas Khusus Selama Masa Genting

"Kami menuntut bawa perkara ini ke pengadilan, sidangkan mereka. Bahwa nanti mereka dihukum atau putus itu sepenuhnya kewenangan pengadilan,” tegas Petrus dalam diskusi memperingati 26 tahun peristiwa Kudatuli bertajuk, “26 Tahun Reformasi dan Demokrasi Tergadaikan" di Jakarta, Kamis (11/8).

Diskusi itu juga menghadirkan pembicara Ketua Setara Institute Hendardi dan wartawan Senior Tri Agung Kristianto serta Kristin Samah sebagai moderator serta ketua penyelenggara diskusi, Turman M Panggabean.

BACA JUGA: Kasus Kudatuli Sulit Selesai Jika Komnas HAM Tak Berperan

Untuk para korban, Petrus meminta harus ada pertanggungjawaban. Komnas HAM, kata dia, bisa menggunakan kewenangannya melakukan mediasi antara Pemerintah dengan korban.

“Mari duduk bersama membicarakan ini. Jangan bikin seolah-olah santunan karena mereka bukan mengurus fakir miskin!,” tegas Petrus.

Selain itu, Petrus mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melakukan konsolidasi kembali untuk meluruskan sejarah perjuangan reformasi.

Soalnya, cita-cita reformasi yang telah mengubah konstitusi dan undang-undang dalam prakteknya saat ini sudah melenceng jauh.

“Karena melenceng jauh, maka cita-cita reformasi perlahan-lahan sudah mulai dilupakan," tuturnya.

Petrus menyebut Megawati Soekarnoputri sebagai pejuang reformasi. Putri Bung Karno itu dianggap sebagai simbol perlawanan rakyat kecil.

“Kalau enggak ada perlawanan dari Bu Mega, mungkin Soeharto akan menjadi Presiden seumur hidup,” kata dia.

Sementara Ketua Setara Institute Hendardi menilai perkara Kudatuli mandek karena kasus ini sudah lama dan tidak ada tekanan dari publik untuk mendorong Komnas HAM mengusut tuntas kasus peristiwa ini.

“Komnas HAM tidak pernah memajukan ini dan tidak pernah melakukan penyidikan secara utuh untuk memajukan perkara ini ke kejaksaan,” ujar Hendardi.

Dia mengatakan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM masih mungkin dilakukan penyelidikan dan disetujui untuk masuk ke kejaksaan. Namun, sampai sekarang, kata dia, belum ada.

Namun demikian, Hendardi mengatakan, ada alternatif lain untuk menuntaskan kasus Kudatuli, yakni penyelesaian yudisial.

Meski belum dirumuskan oleh pemerintah, tetapi ia mengaku mendapat informasi soal ide membentuk Keputusan Presiden (kepres) untuk membuat penyelidikan secara non yudisial.

Namun, sayang, dalam draf yang diterimanya itu isinya sangat tidak berpihak kepada korban.

Isinya dinilai lebih bersifat santunan kepada korban.

“Kalau idenya seperti itu dan Kepres dikeluarkan (Presiden) Jokowi dalam waktu dekat, pasti akan saya tolak,” tegas Hendardi.

Diketahui, Kudatuli merupakan peristiwa penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 27 Juli 1996.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler