jpnn.com - Kontroversi alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) belum berakhir usai Presiden Jokowi menyampaikan sikapnya perihal 75 status pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan.
Presiden Jokowi menyampaikan sikapnya pada Senin (17/5), setelah menerima informasi dari orang-orang di sekelilingnya.
BACA JUGA: Firli Bahuri Bicara soal 75 Pegawai KPK Tak Lolos TWK, Merasa Jadi Sorotan dan Sebut Jokowi
Pernyataan Jokowi yang bersayap dan tidak tegas menggambarkan keraguan sikapnya terkait politik hukum pemberantasan korupsi.
Bagi 75 pegawai KPK penyataan Jokowi ini adalah ‘pembelaan’ nyata atas mosi yang disampaikannya di ruang publik terkait dengan protes hasil TWK. Sementara bagi pimpinan KPK, pernyataan Jokowi bisa jadi ditafsir sebagai bentuk teguran dan inkonsistensi Jokowi dalam menjalankan amanat UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
BACA JUGA: Polemik Pegawai KPK Tak Lolos TWK Harus Diakhiri
Publik bisa memahami bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN adalah mandat revisi UU KPK, di mana Jokowi dengan 50 persen kewenangan yang dimilikinya telah menyetujui revisi.
Publik juga bisa mencatat bahwa pemerintah yang dipimpin Jokowi menyetujui hak inisiatif DPR yang mengusulkan revisi UU KPK. Akan tetapi, setelah produk hukum itu selesai dan dijalankan oleh pimpinan KPK, di tengah kontroversi tes TWK, Jokowi tampak cuci tangan.
BACA JUGA: Memaknai Pandangan Presiden Terkait Hasil TWK Pegawai KPK
Pimpinan KPK hanya menjalankan mandat UU KPK dan UU ASN serta peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tata cara menjadi ASN. Oleh karena itu, wajar jika oleh sebagian kalangan Jokowi dianggap basa-basi.
Ihwal alih status 75 pegawai KPK sebenarnya secara normatif bisa diselesaikan melalui jalur-jalur yang tersedia dari mulai menggugat produk-produk administrasi negara yang dikeluarkan KPK maupun melalui Ombudsman terkait dugaan maladministrasi, sebagaimana sudah dilakukan oleh 75 pegawai KPK.
Akan tetapi amplifikasi di ruang publik menjadikan isu ini bergeser menjadi narasi mematikan KPK. Padahal masih terdapat lebih dari 1.000 insan KPK lain di dalam institusi ini.
Pengabaian TWK dalam proses seleksi dan/atau alih status ASN, yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai variabel tidak penting, juga bisa dianggap mengabaikan fakta-fakta intoleransi dan radikalisme yang sudah banyak bersarang di tubuh institusi-institusi negara, pemerintahan dan di tengah masyarakat. Mandat lolos TWK itu melekat pada calon ASN, siapa pun dan di mana pun institusinya.
Untuk mengakhiri kontroversi yang merugikan agenda pemberantasan korupsi, langkah-langkah nyata bisa ditempuh.
Pertama, Jokowi konsisten mendukung penegakan UU 19/2019 yang disetujuinya pada 2019 silam dengan menjamin independensi KPK mengatur dirinya sendiri karena KPK adalah self regulatory body; atau bisa mengeluarkan Perppu pembatalan UU 19 tahun 2019, sehingga kisruh alih status ini tidak terjadi dan tidak menyandera pimpinan KPK.
Kedua, KPK bersama badan terkait menjelaskan ihwal TWK dan mencari solusi-solusi yang tidak kontroversial termasuk kemungkinan pemberian penugasan-penugasan khusus selama 75 pegawai KPK belum beralih status dan/atau memberikan kesempatan tes susulan.
Ketiga, bagi 75 pegawai KPK melakukan upaya hukum sesuai dengan mekanisme yang tersedia.(***)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Friederich