jpnn.com, JAKARTA - Generasi di periode 2018 ini akan dikenang karena kemampuannya memotret batin masyarakat di 34 provinsi melalui 34 buku puisi esai.
Kekayaan budaya Nusantara, kearifan lokal, jeritan batin, peristiwa sosial, kegembiraanya tergambar dalam 175 puisi esai yang direkam dalam 34 buku itu.
BACA JUGA: Jokowi dan Golkar Makin Mesra, Begini Analisis Denny JA
Demikianlah diskusi pro kontra puisi esai ke 6 yang diselenggarakan Yayasan Budaya Guntur di Jakarta.
Nia Samsihono, salah satu editor 34 buku itu menyatakan ini karya spektakuler. Karya kolosal ini bisa selesai tanpa dana sepersenpun dari pemerintah.
BACA JUGA: Puisi Esai Memperkaya Studi Tentang Indonesia
Publik luas bisa belajar kearifan lokal ragam budaya nusantara dengan mudah karena karya puisi esai disampaikan dengan bahasa yang komunikatif.
Gunoto Saparie yang juga editor 34 buku itu mengaku sebenarnya dia menulis puisi dengan bahasa yang samar.
BACA JUGA: Percayalah, Kekayaan dan Kepintaran Bukan Penentu Kebahagiaan
Namun, dalam puisi esai, bahasanya begitu mudah dipahami.
"Kekuatannya ada pada aneka kisah sosial yang begitu bervariasi, banyak yang tak pernah kita baca dalam sastra di luar karya puisi esai," ujar Gunoto.
Viddy Daery juga menulis puisi esai tersebut. Dia melihat lebih jauh. Menurutnya, puisi esai mengembalikan puisi kepada bentuk yang luhur.
Puisi tak hanya menjadi hiburan dan permainan kata belaka. Puisi menjadi bagian dari gerak budaya untuk membangun katakter bangsa.
"Puisi esai membawa penyair untuk menyuarakan pesan mulia seperti yang disiratkan dalam Alquran," katanya.
Anwar Putra Bayu juga menjadi editor dan penulis puisi esai. Baginya, puisi esai berhasil menjadi potret alternatif untuk melihat batin Indonesia.
"Siapapun yang ingin memahami dan mendalami batin Indonesia, kini mereka dapat melihat potret alternatif batin itu dalam 34 buku puisi esai," kata Anwar.
Diskusi puisi esai di Guntur 49 juga diramaikan oleh pembacaan puisi oleh penyair senior Aspar Paturusi. Juga dibacakan penggalan puisi esai karya Bambang Irawan.
Diskusi ini juga diramaikan oleh aksi teater monolog arahan Isti Nugroho.
Denny JA, penggagas puisi esai, menyatakan hidup manusia saat ini dalam sejarah yang sedang ditata ulang.
"Begitu banyak pembaruan dilakukan di bidang teknologi, bisnis dan politik yang sudah mengubah hidup kita. Para sastrawan, penulis, jurnalis juga merespons zaman ini dengan kreativitas yang sama. Mereka melakukan hal yang belum pernah dilakukan generasi sastrawan sebelumnya: membangun gerakan kultural, swadaya, merekam batin Indonesia di 34 provinsi melalui 34 buku puisi esai," kata Denny.
Keseluruhan buku itu, ujar Denny, bisa diakses oleh siapa saja, kapan pun, di mana pun sejauh ada internet.
Sebanyak 34 buku itu abadi dipublikasi di Facebook perpustakan puisi esai.
Belum pernah terjadi sebelumnya pula sebuah genre baru sastra bisa diakses dan dibaca begitu mudah di sosial media.
"Aneka pembaruan dalam isi puisi, cara penulisan, media penyebaran, komunitas dan kuantiti jumlah karya, sah sudah di tahun 2018 memang telah lahir angkatan baru sastra Indonesia, angkatan puisi esai," ujar Denny. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terbukti, Ahok Kuat Tapi Bisa Dikalahkan!
Redaktur & Reporter : Natalia