jpnn.com - Yang penting selamat. Hanya itu yang menjadi pegangan kaum Rohingya saat meninggalkan kampung halaman mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Agustus lalu.
Tetapi, ternyata sekadar selamat tidak cukup. Kini, setelah setahun berstatus sebagai pengungsi di Bangladesh, nasib mereka tidak jelas. Anak-anak mereka pun terpaksa putus sekolah.
BACA JUGA: Myanmar: Militan Rohingya Ancaman Bagi Asia Tenggara
’’Ada bahaya yang sangat nyata di depan mata. Mereka sangat mungkin menjadi generasi yang hilang,’’ kata juru bicara Unicef Alastair Lawson-Tancred tentang anak-anak para pengungsi Rohingya, Kamis (23/8).
Kepada Thomson Reuters Foundation, dia mengatakan bahwa 380 ribu anak-anak itu bertahan dalam kondisi yang sulit. Mereka tinggal di rumah yang sangat sederhana, kekurangan pangan, dan tidak mengenyam pendidikan.
BACA JUGA: Repatriasi Rohingya Jalan Ditempat
Pemerintah Bangladesh sengaja tidak memberikan pendidikan formal bagi anak-anak para pengungsi Rohingya tersebut. Alasannya sederhana. Supaya para pengungsi tersebut tidak kerasan. Sebab, jika mereka telanjur nyaman di Bangladesh, Perdana Menteri (PM) Sheikh Hasina khawatir kamp penampungan itu akan berubah menjadi tempat tinggal permanen.
Saat ini Bangladesh berada dalam posisi yang serbasalah. Menelantarkan kaum Rohingnya yang menjadi korban represi militer Myanmar jelas bukan pilihan.
BACA JUGA: Terungkap! Milisi Rohingya Bantai Warga Hindu Myanmar
Selain akan mendatangkan kecaman, perbuatan tersebut tidak manusiawi. Tetapi, mengulurkan tangan dan memberikan para pengungsi itu tempat tinggal sementara juga malah membuat mereka repot. Sebab, Myanmar seakan enggan menerima kembali kaum Rohingya yang sudah puluhan tahun tinggal di wilayah mereka tersebut.
Sebenarnya, ada fasilitas pendidikan formal bagi anak-anak para pengungsi Rohingya. Sayangnya, fasilitas itu hanya diperuntukan anak usia 3–14 tahun. Maka, mereka yang berusia lebih dari 14 tahun terpaksa jadi pengangguran.
Menurut Save the Children, saat ini ada lebih dari 6 ribu anak-anak Rohingya di Cox's Bazar yang tinggal sendirian. Mereka sebatang kara. Karena harus menghidupi diri mereka sendiri, anak-anak tersebut jelas tidak memikirkan pendidikan. (sha/c20/hep)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Repatriasi Rohingya: Gelombang Pertama Cuma 5 Orang
Redaktur & Reporter : Adil