4 Catatan Kritis FSGI soal Bibit Radikalisme di Sekolah

Minggu, 20 Mei 2018 – 22:02 WIB
Siswa-siswi SMU. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memberikan empat catatan kritis terhadap pemerintah dan penyelenggara pendidikan dalam upaya menangkal radikalisme di sekolah.

Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan, maraknya aksi terorisme yang terjadi akhir-akhir ini bikin miris karena selain memakan korban jiwa, tapi juga melibatkan anak-anak.

BACA JUGA: FSGI Temukan Guru Rajin Mengunggah Berita Hoaks di Medsos

"Anak-anak sudah menjadi target indoktrinasi radikalisme yang berujung pada perilaku terorisme. Tentu fenomena ini sungguh di luar nalar dan melukai perasaan pendidik," ucap Heru dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (20/5).

Karena itu, dalam rangka bersama-sama dengan pemerintah membangun strategi kontraradikalisme dan deradikalisasi di dunia pendidikan khususnya di sekolah, FSGI memberikan sejumlah catatan penting dan mendesak untuk diperhatikan.

BACA JUGA: Ramadan Momen Tepat Perangi Hoaks dan Radikalisme

Pertama, kekerasan dalam bentuk apa pun semestinya tidak lagi terjadi di masyarakat, apalagi di dunia pendidikan.

Ideologi radikalisme yang berujung dengan aksi kekerasan berawal dari cara pandang yang tidak menghargai perbedaan. Merasa bahwa pendapatnya, diri atau kelompoknya yang paling benar dan anti terhadap pluralitas.

BACA JUGA: Jago PDIP di Malut Ajak Warga Lawan Radikalisme saat Ramadan

Bibit-bibit radikalisme menurut FSGI, sudah tumbuh sejak dini di sekolah melalui pendidikan. Pembelajaran di kelas yang tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang.

“Pembelajarannya tidak didesain menghargai perbedaan. Sehingga para siswa dan guru terjebak pada intoleransi pasif, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan walaupun belum berujung tindakan kekerasan. Model intoleransi pasif inilah yang mulai muncul di dunia pendidikan kita," kata Heru.

Kedua, guru terjebak kepada pembelajaran yang satu arah. Maksudnya adalah pratik pembelajaran di kelas masih berpusat pada guru (teacher centered learning).

Guru menerangkan pelajaran, siswa mendengar. Guru tahu, siswa tidak tahu. Guru selalu benar dan siswa bisa salah.

Relasi pembelajaran yang terbangun antara guru dan siswa adalah relasi guru superior dan siswa inferior. Pola seperti ini masih banyak ditemukan oleh FSGI di sekolah-sekolah.

Tidak tercipta pembelajaran dialogis antara siswa dan guru. Penyemaian radikalisme terjadi ketika guru terbiasa mendoktrin pelajaran, apalagi dalam ilmu sosial dan agama.

Tidak terbangunnya suasana pembelajaran dialogis, mendengarkan pendapat argumentasi siswa.

Ketiga, sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh guru yang membawa pandangan politik pribadinya ke dalam kelas.

“Guru mengajar, sambil menjelaskan materi kemudian menyisipkan pilihan-pilihan politik bahkan sikap politik pribadinya terkait calon presiden atau komentar terkait aksi terorisme yang terjadi bahwa ini adalah pengalihan isu atau mendukung konsep negara khilafah, bahkan bersimpati terhadap ISIS," ungkap Heru.

Keempat, masuknya bibit radikalisme karena sekolah cenderung tidak memperhatikan secara khusus dan ketat perihal kegiatan kesiswaan, apalagi terkait keagamaan.

Ditambah intervensi alumni dan pemateri yang diambil dari luar sekolah tanpa screening oleh guru atau kepala sekolah.

Masuknya pemikiran yang membahayakan kebinekaan ini, tambahnya, bisa dari alumni melalui organisasi sekolah atau ekstrakurikuler, pemateri kegiatan kesiswaan yang bersifat rutin sepeti mentoring dan kajian terbatas.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemendikbud Diminta Menggeber Deradikalisasi di Sekolah


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler