4 Hakim Konstitusi Tak Setuju Masa Jabatan Pimpinan KPK Menjadi 5 Tahun, Ini Dasarnya

Kamis, 25 Mei 2023 – 16:43 WIB
Tidak semua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) setuju dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lima tahun. Foto: Natalia Laurens/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Tidak semua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) setuju dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lima tahun.

Empat hakim konstitusi Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih tidak setuju masa jabatan pimpinan KPK diubah dari semula empat tahun menjadi lima tahun.

BACA JUGA: MK Mengabulkan Gugatan Nurul Ghufron, Masa Jabatan Pimpinan KPK jadi 5 Tahun

Dalam hal ini mereka mempunyai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari lima hakim konstitusi yang menyetujui masa jabatan pimpinan KPK diubah menjadi lima tahun.

Enny Nurbaningsih dan kawan-kawan menyinggung KPK merupakan lembaga negara independen yang meskipun keberadaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi dipandang penting secara konstitusional khususnya untuk memberantas korupsi.

BACA JUGA: Staf DPP Partai Demokrat Datangi KPK, Serahkan Rp 1,5 Miliar Hasil Korupsi

Dalam pertimbangannya, Enny berujar meskipun KPK disebut sebagai lembaga yang dianggap penting secara konstitusional, namun lembaga tersebut tetap dibentuk karena upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan penegak hukum yang sudah ada sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal.

Oleh karena itu, dibentuk lembaga negara bantu (auxiliary state organ) yang mempunyai fungsi pendukung atau penunjang kompleksitas dari fungsi lembaga negara utama (main state organs).

BACA JUGA: Tok, MK Kabulkan Masa Jabatan Pimpinan KPK Selama 5 Tahun

Enny menyatakan argumentasi yang dibangun oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron selaku pemohon sama sekali tidak menyinggung mengenai keterkaitan masa jabatan pimpinan KPK dalam konteks kelembagaan.

Dalil Ghufron yang mengutarakan masa jabatan pimpinan KPK lebih singkat dibandingkan dengan beberapa lembaga nonkementerian lain berdampak pada munculnya anggapan kedudukan KPK lebih rendah dinilai merupakan asumsi belaka karena tidak ditopang bukti-bukti yang cukup dan meyakinkan.

Padahal, terang Enny, karakteristik independensi kelembagaan KPK tetap dijamin tanpa ada keterkaitan dengan masa jabatan pimpinan.

"Terlebih lagi berkenaan dengan masa jabatan sejumlah komisi atau lembaga telah ternyata terdapat ketidakseragaman dalam pengaturannya," kata Enny, Kamis (25/5).

Misalnya pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun; anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 tahun; masa jabatan anggota KPPU adalah 5 tahun; masa jabatan keanggotaan Komnas HAM selama 5 tahun; anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama 5 tahun; dan masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3 tahun.

Enny menilai ketidakseragaman mengenai masa jabatan komisi negara di Indonesia tidak dapat ditafsirkan telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminatif, serta timbulnya keraguan masyarakat atas posisi dan independensi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebagaimana didalilkan Ghufron.

"Argumentasi perubahan periodesasi masa jabatan pimpinan KPK selayaknya dikaitkan dengan desain kelembagaan. Namun, pemohon menitikberatkan dasar pengujian pada adanya pelanggaran hak konstitusional," tutur Enny.

Menurutnya, pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK juga mengandung ketentuan yang secara tersirat memberi jaminan atas hak-hak bagi orang yang terpilih.

Perlindungan hak yang dimaksud adalah hak atas kejelasan masa jabatan yaitu selama empat tahun dan hak dapat dipilih kembali untuk satu periode masa jabatan.

Enny dan kawan-kawan setidaknya mempunyai dua argumentasi merespons penjelasan Ghufron yang membandingkan masa jabatan pimpinan KPK dengan lembaga negara lain.

Pertama, terang Enny, upaya mengubah masa jabatan pimpinan lembaga negara selaiknya dikaitkan dengan desain kelembagaan dan bukan berkenaan dengan ketidakadilan dan perlakuan yang tidak sama. Dalam hal ini antara masa jabatan satu pimpinan lembaga negara dengan institusi negara lainnya.

"Kedua, apabila yang disoroti dalam membangun argumentasi mengenai pengubahan masa jabatan pimpinan lembaga negara adalah kerugian hak dari pemohon sebagai pimpinan KPK atas perlakuan yang tidak sama, maka sesungguhnya pemohon membangun dalil mengenai ketidakadilan tanpa mempertimbangkan hak orang lain yang juga berminat untuk mengajukan diri sebagai calon pimpinan KPK," ucap Enny.

Enny menambahkan keputusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan Ghufron dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara.

Dalam kondisi demikian, menurut dia, Mahkamah akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk Undang-undang untuk menentukannya.

"Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat petitum pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk memaknai norma Pasal 34 UU 30/2002 menjadi "Pimpinan KPK memegang jabatan selama lima tahun" adalah tidak beralasan menurut hukum sehingga seharusnya Mahkamah menolak permohonan pemohon a quo," pungkas Enny. (Tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Seorang Wanita Teriaki Rekaman terkait Sekretaris MA di KPK


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler