Sedikitnya 400 mahasiswa internasional Program Master of Commerce di Sydney University tidak lulus salah satu mata kuliah wajib, diduga karena faktor kurangnya kemampuan Bahasa Inggris.
Dari 1.200 peserta mata kuliah Berpikir Kritis dalam Bisnis (dengan kode mata kuliah BUSS5000), sekitar 37 persen di antaranya dinyatakan tidak lulus. Dan umumnya mahasiswa ini berasal dari China.
BACA JUGA: Menlu Julie Bishop Bertemu Retno Marsudi Pertama Kali Sejak Eksekusi Bali Nine
Sebagian mahasiswa yang tidak lulus ini menuduh pihak universitas secara serampangan saja memutuskan mereka tidak memenuhi syarat untuk lulus mata kuliah wajib untuk meraih Master of Commerce tersebut.
Namun tudingan itu dibantah Wakil Dekan Business School Professor John Shields. Menurut dia, ketidaklulusan ratusan mahasiswa internasional tersebut akibat diberlakukannya perubahan sistem penilaian ujian.
BACA JUGA: Jadi Saksi Penembakan, Pria Australia Ini Dapat Kompensasi Rp 330 Juta
"Mulai semester ini, untuk pertama kalinya diterapkan ujian akhir wajib untuk mata kuliah terkait. Artinya, mahasiswa tidak akan lulus mata kuliah itu jika tidak lulus ujian akhir," jelas Prof. Shields kepada ABC.
Selain dalam mata kuliah Berpikir Kritis, sebanyak 12 persen peserta mata kuliah Meraih Sukses dalam Bisnis (kode mata kuliah BUSS6000) juga tidak berhasil lulus.
BACA JUGA: 9 Penyelundup Narkoba Asal Australia Hadapi Hukuman Mati di China
Padahal kedua mata kuliah ini merupakan syarat wajib untuk bisa meraih gelar S2 pada universitas itu.
Salah seorang mahasiswa asdal China yang tidak lulus mata kuliah BUSS6000, Jinyuan Li, menuding penilaian yang diberikan sangat subyektif.
"Dalam ujian, semua pertanyaannya dalam bentuk jawaban terbuka," katanya.
"Untuk mata kuliah Berpikir Kritis, mereka mengatakan disebabkan oleh kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa yang sangat buruk," kata Jinyuan Li.
"Tapi alasan itu seharusnya tidak berlaku untuk mata kuliah Meraih Sukses dalam Bisnis sebab pesertanya adalah mahasiswa semeseter terakhir. Kami tidak pernah tidak lulus kecuali yang satu ini," paparnya.
Namun Prof. Shields mengakui sebagian mahasiswa asal China kesulitan dengan program S2 ini.
"Kebanyakan peserta program master ini berasal dari mahasiswa S1 dari negara lain, termasuk dari China, yang bisa dikatakan sistem pengajarannya pasif bukan sistem berpikir kritis dan aktif," jelasnya.
"Kami terus mengupayakan terjadinya transisi bagi mahasiswa yang datang dari sistem pengajaran berbeda ke dalam sistem pengajaran dengan pendekatan berpikir kritis," tambah Prof. Shields.
Ia menjelaskan, pihak universitas selama ini memberikan bantuan bagi mahasiswanya yang kesulitan dengan Bahasa Inggris.
"Misalnya, untuk mata kuliah Berpikir Kritis, sejak pertemuan awal kami menerapkan diagnosa kemampuan menulis mahasiswa, dan menemukan mereka yang memiliki kemampuan tidak memadai," katanya.
Mahasiswa seperti ini, kata Prof.Shields lagi, ditawarkan bimbingan khusus secara gratis untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris mereka. "Namun sayangnya sangat sedikit yang ikut serta," katanya.
Menanggapi ketidaklulusan ini, menurut Jinyuan Li, kini banyak mahasiswa yang berencana mengajukan keberatan secara formal.
"Semester baru sudah dimulai kembali, dan kami tidak tahu apakah harus mengulang mata kuliah tersebut," katanya.
Li menambahkan, isu ketidaklulusan ratusan mahasiswa asal China ini telah menjadi sorotan media di China. Ia mengatakan hal itu bisa mempengaruhi jumlah mahasiswa China yang ingin kuliah ke Australia.
Sebelumnya ABC pernah memberitakan bahwa demi mengejar jumlah mahasiswa internasional, sejumlah perguruan tinggi di Australia diduga menurunkan standar pendidikan mereka.
Pendidikan tinggi selama ini merupakan salah satu sumber pendapatan devisa bagi perekonomian Australia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Yakin Masuk 5 Besar Perolehan Medali di Olimpiade Rio 2016