jpnn.com, SURABAYA - Di Surabaya, Jatim dalam setahun terdapat 4.938 pasangan suami istri (pasutri) yang memutuskan untuk bercerai.
Angka tersebut berdasar data Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya yang dihimpun selama 2016.
BACA JUGA: Wow, Enam Bulan Sudah 3.124 Pasutri Bercerai
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, ada penurunan 17 kasus. Pada 2015 perceraian di Surabaya mencapai 4.955 kasus.
Di antara 4.938 perceraian, 1.580 kasus merupakan cerai talak (diajukan suami).
BACA JUGA: Perceraian Naik, Rata-rata setelah Suami Istri Berpisah Tiga Bulan
Sisanya, yakni 3.358 kasus, merupakan cerai gugat (diajukan istri).
Surabaya menduduki peringkat keempat kota di Jawa Timur yang memiliki angka perceraian terbanyak.
BACA JUGA: Ciuman Tangan Terakhir Istri yang Menolak Dipoligami
Banyak faktor penyebab perceraian. Namun, berdasar data PTA Surabaya, faktor terbesar adalah tidak adanya keharmonisan.
Lalu, disusul krisis akhlak dan tidak bertanggung jawab.
Kepala Kesejahteraan Keluarga Dinas Pengendalian Penduduk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A) Antho Handiono menerangkan, salah satu penyebab tingginya ketidakharmonisan adalah kurangnya komunikasi.
Peluang hilangnya komunikasi pasangan suami istri semakin besar di era digital seperti sekarang.
Menurut dia, era digital bisa membuat seseorang memiliki rasa individualisme yang tinggi.
Krisis akhlak juga memiliki andil besar dalam perceraian.
Menurut Antho, fondasi agama sangat berperan dalam membentuk karakter keluarga yang harmonis.
''Karena itu, agama masuk dalam salah satu unsur pedoman delapan fungsi keluarga," terangnya.
Perceraian karena minimnya tanggung jawab didominasi para suami.
Kasus terbanyak, suami meninggalkan kewajiban memberikan nafkah kepada keluarga.
Menurut Antho, kematangan ekonomi keluarga memang penting. Sebab, kematangan ekonomi juga menjadi salah satu faktor jaminan keluarga tersebut sejahtera.
Sementara itu, fenomena cerai gugat yang hampir dua kali lipat dibandingkan cerai talak menjadi tren baru saat ini.
Dalam kasus itu, salah satunya disebabkan posisi perempuan yang lebih mandiri.
Selama ini perempuan dipandang sebagai sosok yang hanya mampu berkutat di dalam rumah, khususnya dapur.
Namun, mindset tersebut sudah berubah. ''Emansipasi mendorong perempuan untuk bangkit.
Misalnya, soal karier," ujarnya. Perempuan yang berfokus pada karir memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan keluarga.
Itu ditambah dengan beban pekerjaan yang sering terbawa hingga ke rumah. Hal tersebut sering memicu gesekan dengan sang suami.
Angka dan faktor perceraian tersebut dinilai sangat mengkhawatirkan oleh DP5A.
Sebab, angka perceraian yang tinggi berdampak pada anak dalam keluarga tersebut.
''Ruang lingkup terkecil untuk mendidik anak adalah keluarga. Karena itu, jika keluarganya bermasalah, anaknya juga bisa ikut bermasalah," ujarnya.
Dia menjelaskan, zaman sudah berubah. Masa sekarang tidak bisa disamakan dengan masa lalu.
Sebab, pola pikir generasi sudah berbeda. Hal tersebut mengakibatkan sudut pandang anak juga berbeda dengan orang tua.
''Sekarang tidak bisa lagi mengatakan buah jatuh selalu tidak jauh dari pohonnya. Sebab, masing-masing zaman sudah berbeda," ujar Antho. (gal/c7/oni/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Suami Jatuh Hati pada Janda Beranak Enam
Redaktur & Reporter : Natalia