jpnn.com, JAKARTA - Salah satu poin penting di Perpres 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) adalah sekolah harus mempertimbangkan pendapat tokoh agama atau tokoh masyarakat di luar komite sekolah (pasal 9).
Khususnya dikaitkan dalam keputusan sekolah itu bakal menerapkan lima hari atau enam hari sekolah.
BACA JUGA: Penerapan Penguatan Pendidikan Karakter Tunggu Juknis
Ketua Bidang Kurikulum Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPP FKDT) Suwendi menuturkan keterlibatan tokoh agama atau ulama itu bukan sebuah hambatan bagi sekolah.
Dia menjelaskan keterlibatan tokoh agama itu merupakan langkah maju dalam manajemen sekolah. Sebab selama ini sekolah sudah menjadi sebuah lembaga yang ekslusif.
BACA JUGA: PPP Soroti Sumber Dana Program Penguatan Pendidikan Karakter
Hampir sedikit sekolah yang melibatkan tokoh masyarakat dalam pengambilan keputusan penting. ’’Sehingga masyarakat seperti tidak memiliki lembaga sekolah,’’ jelasnya.
Kalaupun ada komite sekolah, menurut Suwendi itu bukan bagian dari masyarakat sekitar sekolah. Sebab komite sekolah adalah kumpulan orangtua yang menitipkan anaknya ke sekolah.
BACA JUGA: Omi Madjid: Semua Pelajaran Harus Diisi Pendidikan Karakter
Tempat tinggal komite sekolah bisa jadi jauh-jauh dari lingkungan sekolah. Selain itu independensi komite sekolah juga dipertanyakan.
Tidak bisa dinafikkan, bahwa komite sekolah banyak yang berprinsip ’’apa katanya kepala sekolah’’.
Melalui keterlibatan ulama atau tokoh agama lainnya, menurut Suwendi bisa menjadi kontrol. Jika di lingkungan sekolah itu banyak berdiri pesantren atau madrasah diniyah, si ulama tadi kemungkinan besar akan mempertimbangkan kelangsungan pesantren dan madin.
Jangan sampai sekolah menerapkan lima hari yang bisa mengancam kelangsungan madin maupun pesantren.
Sebab sampai sekarang belum ada jaminan jika sekolah dilaksanakan sampai sore, madin bakal terus hidup.
Sebaliknya jika di lingkungan sekolah itu tidak ada madin atau pesantren, sehingga anak-anak butuh wahana belajar agama, sekolah sampai sore tentu cukup penting untuk dilakukan.
Para ulama, menurut Suwendi, pasti mendahulukan kepentingan anak didik dan kearifan lokal. Ketimbang menjaga gensi sekolah untuk menjalankan lima hari sekolah.
Di dalam Perpres tersebut, ada empat pertimbangan bagi sekolah yang ingin menjalankan lima hari sekolah atau full day school.
Selain pertimbangan tokoh agama, juga kecukupan guru, ketersediaan sarpras, serta kearifan lokal. Menurut Suwendi ketersediaan guru sangat penting untuk menunjang sekolah sampai sore.
Dia mencontohkan sekolah yang kekurangan guru agama, jangan memaksakan menggelar sekolah sampai sore. Apalagi tambahan belajarnya itu bermuatan agama.
Sebab pengurus rohis bisa saja menggunakan jasa guru agama dari luar sekolah yang sulit dikontrol pemahamannya.
’’Kita khawatir guru yang digunakan rohis itu justru menanamkan pemahaman agama yang radikal dan ekslusif,’’ paparnya.
Suwendi menegaskan keputusan menjalankan sekolah lima hari atau enam hari dalam sepekan, tidak lagi ditetapkan oleh kementerian ataupun dinas pendidikan. Keputusan sekolah itu diselenggarakan dalam lima hari atau enam hari, murni ditetapkan oleh masing-masing sekolah. Meskipun sekolah itu adalah sekolah negeri.
Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah mendukung keterlibatan tokoh masyarakat dan komite dalam penetapan sekolah itu digelar lima hari atau enam hari dalam sepekan.
Sebab yang mengetahui keseharian siswa itu adalah orangtuanya sendiri. ’’Bukan sekolah,’’ tutur politisi Golkar itu.
Ferdiansyah bahkan menyebutkan kalaupun sekolah digelar lima hari dan sampai sore, tidak harus diikuti oleh seluruh siswa.
Jika ada siswa yang sudah terlanjur mengikuti kursus sesuai bakat dan minat di luar sekolah, jangan dipaksa berhenti kemudian masuk ke sekolah.
Sebab bisa jadi kursus di luar itu lebih berkualitas ketimbang di dalam sekolah. Apalagi biasanya juga dari orang tua siswa, bukan dari pemerintah. (tau/far/wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kebijakan Baru: Setiap Siswa Terima Dua Buku Rapor
Redaktur & Reporter : Soetomo