jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik (RPMK Pajak E-Commerce) dinilai bisa memengaruhi pertumbuhan industri e-commerce.
Karena itu, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta pemerintah melakukan uji publik.
BACA JUGA: Misbakhun Dorong Pengusaha Truk Perjuangkan Insentif Pajak
’’Kami tetap positif menanggapi peraturan tersebut. Namun, kami juga harus menyampaikan kepada pemerintah bahwa aturan itu akan punya dampak dan berpotensi menghambat pertumbuhan industri ini,’’ ujar Ketua Umum idEA Aulia Marinto saat diskusi pajak e-commerce, Selasa (31/1).
Hingga kini, pihaknya belum pernah menerima draf maupun pasal-pasal aturan perpajakan tersebut secara detail.
BACA JUGA: Pebisnis Muda Bisa Rambah Trading Pertanian dan Peternakan
Di sisi lain, idEA juga berharap pelaku industri e-commerce bisa berdiskusi dan memberikan masukan sebelum peraturan tersebut diterbitkan.
Beberapa hal yang digarisbawahi idEA adalah perlakuan yang sama antara e-commerce marketplace dan media sosial.
BACA JUGA: PayPajak Memudahkan WP Tunaikan Kewajiban
Dengan begitu, aturan tersebut menjangkau seluruh segmen platform.
’’Ini hal penting yang patut diperhatikan. Jika hanya marketplace yang dikenai pajak, kami yakin akan ada shifting karena seller akan pindah ke platform yang gratis dan tidak terjangkau peraturan, yaitu medsos,’’ kata Aulia.
Selain itu, lanjut Aulia, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak sosial diberlakukannya kebijakan tersebut sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan usaha kecil menengah (UKM).
’’Penerapan aturan perpajakan tersebut diperlukan untuk mendorong UMKM offline bertransformasi menjadi UMKM online, memudahkan pemungutan pajak di masa datang, sekaligus meningkatkan efisiensi dan daya saing UMKM mikro di Indonesia,’’ jelas Aulia.
Di sisi lain, Ketua Bidang Pajak Cybersecurity Infrastruktur idEA Bima Laga membeber pentingnya aturan yang dibuat untuk media sosial.
Menurut dia, jika aturan mengenai pajak e-commerce keluar lebih dulu, fenomena shifting akan terjadi dan bisa mengakibatkan kerugian.
’’Dengan begitu, PMK menjamin level playing field. Ditjen Pajak juga perlu melakukan enforcement bagi kanal lainnya, yaitu pelaku bisnis di media sosial dan marketplace offline,’’ ujar Bima.
Berdasar survei idEA terhadap 1.800 responden di sebelas kota besar, hanya 16 persen pelaku e-commerce yang berjualan di marketplace.
Adapun yang berjualan di media sosial seperti Facebook dan Instagram mencapai 59 persen. Selebihnya berjualan di platform lain atau website sendiri.
Survei tersebut menunjukkan bahwa perdagangan online di media sosial jauh lebih banyak dibandingkan marketplace.
Karena itu, idEA turut menyebutkan bahwa potensi pajak yang bisa dikejar pemerintah dari e-commerce di media sosial jauh lebih besar daripada yang bisa didapatkan dari marketplace.
Sejumlah pelaku e-commerce yang menjalankan bisnisnya di Indonesia seperti Tokopedia, Blanja.com, Lazada, dan BukaLapak menyuarakan hal serupa.
’’Saya harap kebijakan ini bisa memberikan dampak positif kepada e-commerce. Cost of player-nya akan besar jika RPMK ini berjalan. Jadi, bukannya tidak mau menjalankan kebijakan ini, tetapi harus dilihat lagi dan dikaji kembali,’’ ujar Tax Manager Blanja.com Jayadi Amin.
Sementara itu, Head of Public Policy Tokopedia Sari Kacaribu menyarankan pemerintah memperjelas rancangan peraturan menteri keuangan tersebut.
Pemerintah dan perusahaan penyedia layanan jasa e-commerce perlu memperhatikan dampak jangka pendek dan panjang dalam implementasi peraturan itu.
’’Karena saya yakin mereka niatnya baik. Namun, harus dilihat jangka pendek dan jangka panjang ke depannya seperti apa, itu harus dipikirkan,’’ jelasnya. (agf/c15/fal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingat, PNS Dilarang Like Unggahan Calon Kada di Medsos
Redaktur & Reporter : Ragil