jpnn.com, JAKARTA - Sebanyak delapan partai politik (parpol) melakukan konsolidasi terkait pernyataan sikap menolak sistem proporsional tertutup.
Konsolidasi itu diinisiasi oleh Partai Golkar sebagai salah satu partai yang menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
BACA JUGA: Menimbang Sistem Proporsional Tertutup
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menegaskan dukungan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka untuk menjaga kemajuan demokrasi.Dia menilai sistem pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi.
“Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi,” tegas Airlangga belum lama ini.
BACA JUGA: 8 Parpol Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Titi Perludem Merespons Begini
Pengamat Politik yang juga Ketua Network for Indonesia Democratic Society (Netfid) Indonesia Afit Khomsani mengapresiasi respons delapan parpol tersebut.
Menurut Afit, hal itu menunjukkan para elite parpol mulai beranjak ke wacana yang lebih produktif.
BACA JUGA: Pengamat Apresiasi Airlangga Karena Menginisiasi Penolakan Sistem Proporsional Tertutup
Afit juga menilai pernyataan sikap tersebut mempunyai dampak positif pada perhatian publik terhadap Pemilu 2024.
"Artinya, para elite mulai aware dengan Pemilu 2024 dan komitmen pada penyelenggaraan Pemilu 2024, serta meninggalkan wacana kontraproduktif yang dulu sering dilakukan, misalkan menunda pemilu," kata Afit Khomsani, Rabu (11/1/2023).
Menurut Afit, memang tidak ada sistem pemilu yang paling ideal dan bagus.
Meski demikian, sistem pemilu dipilih berdasar yang paling memungkinkan dan bisa disesuaikan dengan konteks dan kultur masyarakat.
Sistem pemilu proporsional terbuka memiliki beberapa kelemahan di antaranya adalah mengecilnya peran parpol dan rawan politik uang.
"Karena adanya liberalisasi dalam proses pemilu, di mana para calon saling berlomba untuk mendapatkan suara terbanyak," ujarnya.
Afit menerangkan masalah yang patut diperhatikan terkait dengan sistem pemilu proporsional terbuka adalah derajat kedekatan warga dengan partai yang akan dipilih atau party-identification (Party-ID).
"Problem kita adalah rendahnya Party ID, bahkan sekarang hampir tidak ada. Hal ini diakibatkan pada banyak faktor, termasuk disorientasi parpol, ideologi yang makin tidak jelas, dan sebagainya," kata Afit.
Untuk mengatasi kelemahan tersebut, parpol diharapkan mampu memastikan calon legislatif (caleg) yang diusung merepresentasikan Party-ID yang kuat.
“Tentu parpol mempunyai tugas untuk memastikan bahwa calon yang diusung atau dicalonkan adalah calon yang mempunyai Party ID yang kuat, tidak hanya semata elektabilitas dan tingginya basis dukungan," kata dia.
Sedangkan untuk mengurangi politik uang, parpol juga patut untuk mempunyai mekanisme kontrol atas dana kampanye yang digunakan dan tidak memanfaatkan surat rekomendasi sebagai mahar politik.
“Parpol juga tentu harus mempunyai mekanisme yang jelas dan kontrol atas dana politik dan kampanye yang dilakukan oleh kader-kadernya. Sebaliknya, parpol jangan memanfaatkan situasi ini untuk menjadikan surat rekomendasi sebagai mahar politik," pungkas Afit.
Penyederhanaan Pemilu
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khairunnisa Nur Agustyati mengatakan kompleksitas sistem proporsional terbuka bisa diatasi dengan hal-hal berikut ini.
“Misalnya, pada tahun 2019 dengan sistem proporsional terbuka, memang ada kompleksitas, surat suara besar, kompleks karena menggabungkan 5 pemilu dalam satu hari,” ujar Khairunnisa, Rabu (11/1).
Jika belajar dari hal itu, maka pemilu mendatang tidak menggabungkan lima pemilu dalam satu hari.
Kemudian untuk jumlah caleg pada daerah pemilihan. Saat ini ada 18 partai yang akan berlaga di Pemilu 2024. Jika dari dapil ada 10 caleg, maka kertas suara makin besar.
“Dapil penting untuk disederhanakan, mungkin paling banyak 6 atau 8. Bagi pemilih, dalam situasi pemilih yang belum pendidikan politik, pemahaman pemilu belum maksimal, mereka belum mencari tahu. Kalau pemilih yang baik kita harus cari tahu,” ujar Khairunnisa.
Apalagi dari pengalaman terdahulu, banyak caleg yang tidak dikenal pemilih, dan sulit didapatkan informasi tentang dirinya.
Namun, sekarang ini di era digital dan media sosial, siapapun bisa dikenal, dan didapatkan informasinya.
“Tentu medsos jadi chanel yang efektif hari ini,dia mudah, gratis dan cepat menyebarkan info cepat. Itu jadi metode kampanye yang efektif apalagi bagi mereka yang terbatas finansial, dan di medsos bisa berinteraksi,” ungkap dia.
Aktif di media sosial, parpol, caleg harus waspada dengan adanya disinformasi, atau hoaks.
“Sekarang bagaimana tentu sebagai pemilih publik, paparan informasi bagaimana penyelenggaraan pemilu dan caleg bisa info yang resmi bisa sampai ke pemilih,“ tegas Khairunnisa.
Lalu untuk politik uang, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup rentan dengan hal ini.
Bedanya, dalam sistem proporsional terbuka, uang bisa beredar pemilih dan kandidat. Sementara pada sistem proporsional tertutup, bisa berupa suap untuk menentukan nomor urut partai.(fri/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari