Agustiar, Lhoksemauwe--Keberadaan PT Satya Agung di Aceh Utara ternyata sempat menuai konflikBahkan sebelum terjadinya aksi penembakan terhadap buruh perkebunan, ada insiden pencaplokan tanah gampong di tiga kecamatan sepergi Geuredong Pase, Meurah Mulia dan Simpang Kramat
BACA JUGA: Jembatan Patah, Transportasi ke 5 Kabupaten Putus
Warga protes karena kurang lebih sebanyak 800 hektar lahan, dimasukkan sebagai Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan karet tersebutKeterangan diungkap Anwar Sanusi Spdi selaku anggota DPRK Aceh Utara, yang pada tahun 2010 lalu menjadi ketua panitia khusus (pansus), menyangkut status HGU PT Satya Agung
BACA JUGA: Malu Dimarahi guru, Murid SD Coba Bunuh Diri
Saat diwawancarai Metro Aceh (Group JPNN), (8/12) ia bersama 6 anggota dewan lainnya sudah menelusuri sejumlah data, berdasarkan pengaduan masyarakatMasih ada dibenaknya, di tahun 2010 kemarin, pihak pansus telah bertemu dengan sejumlah masyarakat dari tiga kecamatan, yakni geuredong Pase, Meurah Mulia dan Simpang Kramat. Pansus juga melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, seperti BPN, dinas kehutanan dan perkebunan, dan manajemen PT satya Agung.
Menurut mantan Ketua pansus PT.Satya Agung ini lagi, bahwa permohonan HGU PT.Satya Agung sepenuhnya mendapat izin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pusat. Yakni mulai tahapan permohonan, HGU, administrasi, perlengkapan permohonan
BACA JUGA: Libur Natal, RSUD Tetap Layani Pasien
Sedangkan pengukuran HGU itu sendiri dilakukan oleh BPN Propinsi Aceh.Terkait permasalahan, menurut keterangan masyarakat kepada pansus dahulu, pengambilan lahan pada saat itu yakni pada tahun 1981Dimana pencaplokan terkesan sangat dipaksakan. Pemilik lahan dilakukan penjemputan ke rumah dan pembayaran ganti rugi dilakukan dengan nilai bervariasiJumlahnya berkisar Rp.150 ribu hingga Rp.300 ribu tanpa melalui pengukuran lahan. Masyarakat hanya melakukan tanda tangan tanpa diberikan berita acara.
“Bahkan laporan warga dahulu, yang kita tuangkan dalam paparan pansus, ada yang hanya dibayar Rp.450 ribu untuk lahan garapan mereka seluas 4 hektarAda sekitar 800 hektar tanah gampong yang hilang dan masuk dalam areal HGU,” ucap Anwar.
Pada saat itu, pansus menilai bahwa persoalan peralihan hak tanah garapan masyarakat, pada saat awal mula masuknya PT.Satya Agung, dimana kekuasaan menjadi alat penguasa. Untuk menentukan arah berbagai kepentingan dan keinginan penguasa. Dimana hak-hak sipil, ekonomi, hak ulayat masyarakat serta hukum adat terpinggirkan. Akibat hukum tidak berpihak semua menjadi bagian dari hak penguasa.
“Oleh banyaknya laporan warga pada saat itu, kami panitia khusus hari lalu telah meminta pengukuran ulang HGU PT.Satya Agung,”ucapnya.
Dari pertemuan dengan manajemen PT.Satya Agung, pihak dewan pun kemarin mendapat masukan bahwa selama PT.Satya Agung beralih kepada manajemen yang sekarangSeluruh aktifitas di lapangan tidak berjalan normal akibat konflik yang berkecamuk di AcehPihak perusahaan hampir tidak pernah merasakan hasil kebun sama sekali dan mengalami kerugian.
Bukan itu saja, alasan pihak PT.Satya Agung akibat konflik membuat lahan tidak terurus dan terlantarUntuk itu pihak perusahaan pernah meminta keringanan pajakMenyangkut permasalahan luas HGU, pihak PT.Satya Agung berjanji akan melakukan pengukuran kembali terhadap seluruh lahan HGU milik mereka.
Intinya hasil pansus, diharapkan agar manajemen PT.Satya Agung dapat memperhatikan masyarakat lingkunganTermasuk dapat segera melunaskan tunggukan pajak Rp.2.157.933.075. bukan itu saja, pansus berharap manajemen Pt.Satya Agung mengutamakan putra daerah disekitar kebun dan mengutamakan kontraktor lokal dalam setiap kegiatan.
Berdasarkan data pansus, ada lima sertifikat HGU yang dikuasai oleh PT.satya Agung. SK/16/HGU/DA/1981 yang dikeluarkan tanggal 24-3-1981 dengan nomor sertifikat 18/tanggal 25-5-1981 dengan luas lahan 1.913,25 hektar yang berlokasi di Kecamatan Simpang Kramat
Selain itu no.SK/41/HGU/DAN/1988 dengan luas areal 1.477 hektar lokasi Kecamatan Meurah Mulia dan Pirak Timu. SK.HGU/no.9/HGU/DU/1986 dengan luas 8.128,12 hektar di Kecamatan Meurah Mulia dan Syamtalira Bayu. SK.HGU/no.5/HGU/BPN/1998 dengan luas areal 50 hektar di Kecamatan Meurah Mulia dan terakhir SK.No.03/HGU/BPN/1996 dengan luas areal 200 hektar di Kecamatan Meurah Mulia. Total luas lahan dari lima sertifikat yakni, 11.768,42 hektar
Terkait berita ini, Ponsel Manager PT Satya Agung Mandalaris Silaban yang dihubungi Metro Aceh, Kamis (/12) sore pukul 17.30 WIB, ternyata tak aktif
Dari rentan waktu tahun 1998 sampai 2007 lalu, tunggakan pajak PT Satya Agung mencapai angka Rp 2,7 miliar lebihHal ini terdiri dari tiga komoditi yang ada di kawasan Aceh Utara, masing-masing Rp 1,9 miliar untuk tunggakan kelapa Sawit, Rp 579 juta lebih untuk perkebunan karet dan Rp 195 juta lebih untuk komoditi kakao.
Pihak PT Satya Agung melalui manajernya Mandalaris Silaban mengaku kondisi saat itu perusahaan terus merugiDitambah kondisi konflik berkepanjangan, menyebabkan pihaknya meminta keringanan tunggakan pajak kepada pemerintah Aceh, terutama Pemkab Aceh UtaraKeinginan tersebut disetujui dengan jumlah Rp 1,448 miliar dari total Rp 2,7 miliar dan pada 2011 ini PBB sudah dibayar sebesar Rp 142 juta lebih.
“Saat konflik dan kondisi Aceh belum kondusif, perusahaan kita tetap beroperasi, namun tidak maksimalBanyak lahan kita saat itu dimamfaatkan warga sekitarSelama itu juga kita merugi, kita tetap bertahan di Aceh UtaraKarena pertimbangan perusahaan ini milik orang Aceh sendiri dan banyak manfaatnya untuk warga sekitar,” ujar Mandalaris.
Saat ini tambahnya, PT SA fokus untuk mengembangkan perkebunan itu dan memulihkan perkebunan setelah dilanda konflik berkepanjangan, dan perlahan-lahan mulai menghasilkan walau mencapai targetDengan kejadian penembakan pihaknya semakin dibuat sulit karena saat ini sedang dilakukan investasi di kawasan tersebut.(**)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dicokok Setelah 5 Tahun jadi Tersangka
Redaktur : Tim Redaksi