jpnn.com, JAKARTA - Sebanyak sembilan siswa SMK Lingga Kencana Depok tewas dan belasan luka-luka dalam insiden tergulingnya bus Putra Fajar di Subang, Jawa Barat, Sabtu (11/5/2024).
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pun diminta melakukan moratorium dan mengubah konsep kegiatan luar ruang khususnya study tour.
BACA JUGA: Hardiknas 2024, Ketua Komisi X DPR: Pendidikan Indonesia Masih Hadapi Tantangan Besar
“Menjelang tahun ajaran baru ini akan banyak penyelenggara pendidikan yang mengadakan kegiatan luar ruang seperti study tour atau field trip. Kami menilai sebaiknya untuk sementara kegiatan ini dimoratorium lebih dahulu dan diubah konsepnya sehingga lebih memberikan manfaat optimal bagi peserta didik,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Selasa (14/5/2024).
Huda mengatakan insiden Subang merupakan kabar duka bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Menurut Huda, kejadian tersebut tidak boleh terulang mengingat peserta didik merupakan aset bangsa yang sangat berharga.
“Semua stake holder tentu memahami betapa peserta didik adalah aset bangsa yang harus dilindungi dari segala hal yang mengancam keselamatan fisik maupun psikis mereka,” ujar Huda.
BACA JUGA: Jasa Raharja Berikan Santunan ke Seluruh Korban Kecelakaan Bus di Subang
Politikus PKB ini menilai moratorium kegiatan luar ruang untuk memastikan aktivitas study tour atau field trip benar-benar aman bagi peserta didik.
Perlu dipastikan standar baku dalam bentuk petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis ketika penyelenggara pendidikan hendak mengadakan kegiatan luar ruang.
“Di situ harus dijelaskan tentang tujuan, ruang lingkup kegiatan, termasuk standar minimal keamanan transportasi, akomodasi, hingga konsumsi peserta didik. Nah sebelum ada sandar baku pelaksanaan kegiatan luar ruang tersebut maka moratorium study tour harus diberlakukan karena kita tidak ingin tragedi Subang kembali terjadi,” katanya.
Selain itu, kata Huda perlu ada perubahan konsep study tour dengan menempatkan peserta didik sebagai subjek kegiatan.
Menurut Huda, selama ini konsep study tour lebih menempatkan siswa sebagai objek untuk diajak jalan-jalan atau berlibur bersama. Kondisi ini terkadang lebih menguatkan sisi komersil daripada sisi edukasi.
“Sering kali penyelenggara menekan biaya pengeluaran untuk transportasi, konsumsi, maupun akomodasi untuk mendapatkan keuntungan yang ujungnya bisa merugikan peserta kegiatan,” katanya.
Agar kegiatan study tour atau field trip lebih bermakna, kata Huda, sekolah bisa bekerja sama dengan desa-desa wisata yang saat ini banyak tumbuh di berbagai wilayah.
Di sana sekolah bisa melibatkan siswa untuk aktif membantu perbaikan tata kelola seperti membikin konten promosi, membuat aplikasi tiket secara online, hingga memberikan input terkait jenis wahana wisata yang ada.
“Dengan konsep ini di satu sisi peserta didik bisa menikmati waktu luang (leisure) mereka di lokasi wisata, namun di sisi lain mereka juga bisa berkreasi mengembangkan objek wisata yang ada,” pungkas Huda.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari